"Ah, kau."
"Mending kau ikutan nyalon jadi pejabat juga, siapa tahu rakyat mau membantumu."
"Memangnya kamu sudah siap bantu aku melawan anaknya nanti?"
"Bah, rupanya sudah mau bangun dinasti. Yasudah mati saja kalau  begini. Mengapa sih mereka maruk sekali?"
Pria lepas kancing tergelak mendengar jawaban sekaligus pertanyaan  sahabatnya itu. Ia lantas duduk bersila, mematikan puntung rokoknya, lalu minum dari botol air mineral yang sejak tadi ia siapkan. Dia pun mulai berbicara,
"Ketahuilah kawanku, kita ini sedang di tengah-tengah kehidupan yang maju. Kalau engkau malah mundur, jangan salahkan siapa-siapa, salahkan kenapa kakimu melangkah ke belakang bukan ke depan.
Perhatikan baik-baik, kenapa orang melakukan segala cara untuk mendapatkan kekayaan. Sebab miskin itu momok yang menakutkan.
 Orang-orang lebih sanggup melihat banyak kemiskinan di sekitarnya, ketimbang ia yang berada langsung dalam  lingkaran kemiskinan itu.
Tidak perlu engkau heran, bila seorang pejabat menghibur rakyatnya dengan lembaran uang. Sebab uang mampu membutakan hati yang bersih lagi suci. Kemiskinan memang bisa membunuh mereka, tetapi kemiskinan tidak akan bisa membuat mereka lupa diri.
Melalui uang, idealisme bisa digadaikan sekehendak hati. Orang miskin terdidik sekalipun, kalau hidupnya tertindas dan teraniaya tidak akan mau mati sia-sia. Lalu orang-orang kaya melempar harapan atau janji yang akan peduli hak-hak asasi orang bawah. Siapa yang tidak terlena?
Setelah terpilih, janji-janji tadi jadi ampas. Kehidupan seperti biasa, orang miskin biarlah tetap miskin, siapa yang mau mengubahnya kecuali diri sendiri? Yang mereka (pejabat) bisa ubah paling cuma memperbanyak kebijakan, aturan, dan birokrasi yang super rumit. Â