Oleh karenanya, pendekatan ini adalah pendekatan kultural dan bukan struktural. Adanya ketertinggalan suatu bangsa disebabkan faktor-faktor internal dari bangsa itu sendiri.
Penjelasan ini mengingatkan saya kembali pada salah satu teori pembangunan yaitu modernisasi. Modernisasi merupakan salah satu teori yang cukup banyak dipakai dalam menjelaskan pembangunan, cenderung eurosentris dan erat dengan supremasi universal rasionalitas barat.Â
Singkatnya, "jika kamu ingin berkembang, jadilah seperti kami (barat)" (Peet & Hartwick, 2009). Ada disparitas wilayah "berkembang dan maju" "dunia pertama dan dunia ketiga", dan "dunia utara dan dunia selatan". Kemiskinan dan keterbelakangan disebabkan kondisi asal negara-negara berkembang (Midgley, 2020). Untuk maju perlu melaksanakan modernisasi.
Ada sedikit catatan ketika melihat Barat sebagai pusat kemajuan. Buktinya negara di bagian Asia juga dapat maju asal diberikan kesempatan. Sebuah contoh yang disertakan dalam buku Koentjaraningrat yang bagus segi mentalitas dan kebudayaannya adalah negara Jepang. Kebudayaan Jepang sendiri sudah mapan. Hal ini dapat dilihat dari mega pembangunan sejak era restorasi Meiji.Â
Pekerja Jepang dikenal cerdas, berdisiplin dan memiliki kemampuan untuk bekerja keras paling tinggi di dunia. Bahkan semenjak kecil, anak-anak sudah diajarkan karakter-karakter tersebut (Laksono, 2010).Â
Alih-alih kagum dan meniru total kebudayaan Jepang, Indonesia perlu bangga dengan bangsanya. Ada suku, bangsa, sistem sosial kemasyarakatan dan kondisi geografis yang khas dan berpotensi menjadi maju. Hanya saja, potensi itu belum didayagunakan negara Indonesia.
Catatan menarik dalam buku terlihat ketika kita mempertanyakan kebudayaan nasional Indonesia yang memiliki ragam suku bangsa. Keragaman itu di sisi lain berpotensi menjadi masalah ketika terjadi gesekan dan klaim bahwa budayanya adalah budaya nasional.Â
Bukan hanya masalah itu saja, melainkan menyangkut masalah kepribadian nasional dan soal tujuan bersama untuk mengeluarkan tenaga untuk membangun dan motivasi untuk membangun. Telah ada upaya pembentukan kebudayaan nasional seperti; pengembangan kesenian kuno, ilmu pengetahuan lokal, membeli produk sendiri dan membangun hukum nasional.
Namun ini masih kurang. Upaya selanjutnya yang dapat dilakukan adalah bangga dan menghargai mutu setinggi-tingginya. Maka persoalan antara kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional menjadi tidak penting lagi. Yang terpenting adalah sesuatu itu khas dan bermutu, terlepas dari manapun asalnya kemudian orang Indonesia mau mengidentifikasi dirinya sebagai orang Indonesia dan menimbulkan kebanggaan maka itulah kebudayaan nasional kita (hlm. 119).
saya merekomendasikan agar membentuk mentalitas pembangunan dan kebudayaan nasional itu melalui pendidikan dan penerangan. Yang disebutkan pertama itu bisa dilakukan melalui pranata pendidikan formal maupun informal. Adapun penerangan itu melalui media massa untuk membangun kesadaran dan membuka informasi kepada masyarakat Indonesia.
Buku ini menerangkan mentalitas dan kebudayaan yang dapat menunjang pembangunan masyarakat Indonesia. Meskipun daftar referensi tidak disertakan dalam buku itu dan terkesan seperti jawaban hasil wawancara, buku ini membantu dalam memahami upaya perubahan kultural masyarakat Indonesia untuk menjadi lebih baik. Ada kebutuhan agar kesenjangan pembangunan diisi oleh pendekatan sosio kultural.Â