pembangunan. Buku ini merupakan kumpulan pertanyaan dan jawaban dari redaksi KOMPAS yang pernah diajukan kepada beliau kemudian dikodifikasi menjadi sebuah buku bunga rampai. Dapat dipahami jika terjadi kegagalan pembangunan dimana penyelesaiannya tidak melulu soal pendekatan ekonomi.
Koentjaraningrat merupakan salah seorang Antropolog berkebangsaan Indonesia yang menerangkan korelasi kebudayaan, mentalitas danKira-kira ada semacam kesenjangan dalam pembangunan yang hanya bisa diisi oleh pendekatan non-ekonomi yaitu sosio kultural. Latar belakang buku ini ditulis sepertinya pada masa orde baru, dimana pembangunan ekonomi (baca:modernisasi) gencar dilaksanakan. Oleh karenanya buku ini hadir untuk memberi penjelasan tentang peran kebudayaan dalam pembangunan.
Ada 25 judul tulisan dengan tema seputar kebudayaan, mentalitas dan pembangunan. Tema kebudayaan berbicara seputar hakikat, manifestasi dan distingsi antara adat dengan kebudayaan. Mungkinkah kebudayaan itu bersifat relative? jawabannya "ya" jika diterapkan dalam tiap daerah.Â
Namun Secara universal, kebudayaan di berbagai tempat memiliki tujuh unsur kebudayaan seperti; sistem religi dan upacara keagamaan, organisasi kemasyarakatan, pengetahuan, bahasa, kesenian, mata pencaharian hidup dan teknologi terapan (hlm. 2). Karena pembangunan mengisyaratkan perubahan dan kemajuan, maka unsur kebudayaan yang disebutkan pertama lebih sulit untuk berubah.
Tulisan-tulisan setelahnya berbicara tentang tema mentalitas. Berbicara mentalitas disini maka yang dimaksud adalah mentalitas untuk pembangunan. Ada pertanyaan maupun pernyataan keraguan jika orang Indonesia belum siap untuk pembangunan.Â
Koentjaraningrat menjawab bahwa  pertama, perlu ada bayangan Indonesia kedepan mau seperti apa? Perumusan ini tidak mudah karena tiap suku dan bangsa di Indonesia masing-masing memiliki konsep masa depannya dan belum ada masa depan bersama sebagai Indonesia (hlm. 35).
Tantangan lain semakin bertambah ketika kita ingin meniru bangsa yang sudah semakin unggul jauh kedepan progress pembangunannya. Alih-alih pesimis, setidaknya kita ingin menjadi lebih baik dan sedikit lebih makmur.Â
Oleh karenanya, kita perlu membina mentalitas seperti; kerja keras, hemat, inovasi, berorientasi pada karya, menghargai mutu dan tidak asal-asalan, percaya diri dan mengurangi ketergantungan pada atasan, berdisiplin murni menunda kesenangan masa kini untuk masa depan yang akan datang.
Untuk menjadi modern, suatu bangsa tidak perlu mengikuti gaya hidup kebarat-baratan. Modern atau modernisasi berarti menyesuaikan diri dalam kehidupan masa sekarang dengan menjaga sifat dan kekhususan bangsa masing-masing. Memang ada unsur kebudayaan barat yang dapat kita pakai, adaptasi, ambil alih dan beli tanpa perlu terlalu jauh mengikuti gaya hidupnya. Pada bagian inilah Koentjaraningrat menerangkan jika modernisasi tidak sama dengan westernisasi (hlm. 149).
Mengaitkan Kebudayaan, Mentalitas, Pembangunan dan Struktur
Hal pertama yang dapat dilihat dari analisis ini adalah tentang keterkaitan antara kebudayaan, mentalitas dan pembangunan. Kebudayaan dan mentalitas merupakan pendorong utama dalam melakukan pembangunan.Â
Oleh karenanya, pendekatan ini adalah pendekatan kultural dan bukan struktural. Adanya ketertinggalan suatu bangsa disebabkan faktor-faktor internal dari bangsa itu sendiri.
Penjelasan ini mengingatkan saya kembali pada salah satu teori pembangunan yaitu modernisasi. Modernisasi merupakan salah satu teori yang cukup banyak dipakai dalam menjelaskan pembangunan, cenderung eurosentris dan erat dengan supremasi universal rasionalitas barat.Â
Singkatnya, "jika kamu ingin berkembang, jadilah seperti kami (barat)" (Peet & Hartwick, 2009). Ada disparitas wilayah "berkembang dan maju" "dunia pertama dan dunia ketiga", dan "dunia utara dan dunia selatan". Kemiskinan dan keterbelakangan disebabkan kondisi asal negara-negara berkembang (Midgley, 2020). Untuk maju perlu melaksanakan modernisasi.
Ada sedikit catatan ketika melihat Barat sebagai pusat kemajuan. Buktinya negara di bagian Asia juga dapat maju asal diberikan kesempatan. Sebuah contoh yang disertakan dalam buku Koentjaraningrat yang bagus segi mentalitas dan kebudayaannya adalah negara Jepang. Kebudayaan Jepang sendiri sudah mapan. Hal ini dapat dilihat dari mega pembangunan sejak era restorasi Meiji.Â
Pekerja Jepang dikenal cerdas, berdisiplin dan memiliki kemampuan untuk bekerja keras paling tinggi di dunia. Bahkan semenjak kecil, anak-anak sudah diajarkan karakter-karakter tersebut (Laksono, 2010).Â
Alih-alih kagum dan meniru total kebudayaan Jepang, Indonesia perlu bangga dengan bangsanya. Ada suku, bangsa, sistem sosial kemasyarakatan dan kondisi geografis yang khas dan berpotensi menjadi maju. Hanya saja, potensi itu belum didayagunakan negara Indonesia.
Catatan menarik dalam buku terlihat ketika kita mempertanyakan kebudayaan nasional Indonesia yang memiliki ragam suku bangsa. Keragaman itu di sisi lain berpotensi menjadi masalah ketika terjadi gesekan dan klaim bahwa budayanya adalah budaya nasional.Â
Bukan hanya masalah itu saja, melainkan menyangkut masalah kepribadian nasional dan soal tujuan bersama untuk mengeluarkan tenaga untuk membangun dan motivasi untuk membangun. Telah ada upaya pembentukan kebudayaan nasional seperti; pengembangan kesenian kuno, ilmu pengetahuan lokal, membeli produk sendiri dan membangun hukum nasional.
Namun ini masih kurang. Upaya selanjutnya yang dapat dilakukan adalah bangga dan menghargai mutu setinggi-tingginya. Maka persoalan antara kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional menjadi tidak penting lagi. Yang terpenting adalah sesuatu itu khas dan bermutu, terlepas dari manapun asalnya kemudian orang Indonesia mau mengidentifikasi dirinya sebagai orang Indonesia dan menimbulkan kebanggaan maka itulah kebudayaan nasional kita (hlm. 119).
saya merekomendasikan agar membentuk mentalitas pembangunan dan kebudayaan nasional itu melalui pendidikan dan penerangan. Yang disebutkan pertama itu bisa dilakukan melalui pranata pendidikan formal maupun informal. Adapun penerangan itu melalui media massa untuk membangun kesadaran dan membuka informasi kepada masyarakat Indonesia.
Buku ini menerangkan mentalitas dan kebudayaan yang dapat menunjang pembangunan masyarakat Indonesia. Meskipun daftar referensi tidak disertakan dalam buku itu dan terkesan seperti jawaban hasil wawancara, buku ini membantu dalam memahami upaya perubahan kultural masyarakat Indonesia untuk menjadi lebih baik. Ada kebutuhan agar kesenjangan pembangunan diisi oleh pendekatan sosio kultural.Â
Membaca "kebudayaan, mentalitas dan pembangunan" secara tidak langsung  merangsang dan membangkitkan jiwa nasionalisme. Lewat upaya-upaya yang dapat menciptakan rasa bangga dan kecintaan kepada bangsa Indonesia.
Referensi
Laksono, E. (2010). Imperium III. Jakarta Selatan: Hikmah.
Midgley, J. (2020). Pembangunan Sosial; Teori dan Praktik (S. Eddyono & M. L. Pinem, eds.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Peet, R., & Hartwick, E. (2009). Theories of Development; Contentions, Arguments, Alternatives (2nd ed.). New York: The Guilford Press.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H