BUDAYA KOSMOPOLITANISME: SUATU REFLEKSI ATAS KEBUDAYAAN LOKAL
(Mikael Ekel Sadsuitubun-Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng Manado)
PendahuluanÂ
     Identitas kebudayaan merujuk pada "kekhasan", "originalitas", atau "substansi inti" suatu kebudayaan.  Identitas suatu kebudayaan bercampur dengan identitas kebudayaan lain membentuk suatu interaksi/relasi yang melahirkan kepedulian dan komitmen yang sama untuk membangun bentuk kehidupan tertentu yang mereka anggap bermakna dan otentik-sesuai dengan jiwa dan riwayat mereka. Relasi antar kebudayaan itu meluas melalui jejaring Global yang sesungguhnya memperdalam interaksi antar budaya.
A. Kebudayaan Sebagai Komitmen
    Kebudayaan sebagai komitmen merupakan suatu upaya untuk mencari kembali apa yang sesungguhnya berharga dan kita perjuangkan ketika kita mepertahankan atau memperjuangkan hal yang kita sebut "kebudayaan" itu. Kebudayaan sebagai komitmen merupakan suatu gerakan untuk secara bersama-sama mempertahankan suatu kehidupan tertentu yang lebih baik atau suatu kehidupan yang bermakna. Komitmen yang didasarkan akan ikatan antar kebudaya-kebudayaan yang kemudian meluas hingga ke tingkat global.
    Oleh karena itu, berikut akan dijelaskan secara lebih mendetail apa itu Kebudayaan sebagai komitmen. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa Kebudayaan sebagai komitmen merupakan upaya untuk mempertahankan atau memperjuangkan suatu kebudayaan tertentu. Kebudayaan dimaksud tidak lain adalah pengalaman atau kebiasaan/tradisi hidup sehari-hari yang dianggap bermakna. Untuk membangun Kebudayaan sebagai komitmen, harus ada transaksi dan kesepakatan. Mengapa...? Karena suatu kebudayaan tentu saja dibangun berdasarkan suatu kesepakatan tertentu. Kesepakatan formal menciptakan semacam solidaritas di antara para anggota suatu kebudayaan yang mendorong mereka memperjuangkan tujuan bersama. Namun untuk mempersatukan kebudayaan-kebudayaan yang berbeda-beda itu diperlukan tradisi dan konstruksi. Tradisi diciptakan berdasarkan keputusan-keputusan manusia untuk menjadikan aliran peristiwa dan bermacam pengalaman bisa dimengerti sehingga dapat dikatakan bahwa tak ada kebudayaan tanpa tradisi. Selain itu, identitas budaya juga merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam Kebudayaan sebagai komitmen. Identitas kebudayaan merujuk pada "kekhasan", "originalitas", atau "substansi inti" suatu kebudayaan.  Identitas suatu kebudayaan bercampur dengan identitas kebudayaan lain membentuk suatu interaksi/relasi yang melahirkan kepedulian dan komitmen yang sama untuk membangun bentuk kehidupan tertentu yang mereka anggap bermakna dan otentik-sesuai dengan jiwa dan riwayat mereka. Relasi antar kebudayaan itu meluas melalui jejaring Global yang sesungguhnya memperdalam interaksi antar budaya.
      Jadi, Kebudayaan sebagai komitmen adalah suatu upaya untuk mencari kembali apa yang sesungguhnya berharga dan kita perjuangkan ketika kita mepertahankan atau memperjuangkan hal yang kita sebut "kebudayaan" itu. Kebudayaan sebagai komitmen merupakan suatu gerakan untuk secara bersama-sama mempertahankan suatu kehidupan tertentu yang lebih baik atau suatu kehidupan yang bermakna dalam modernitas dan tetap mempertahankan otentisitasnya.
   Budaya Kosmopolitanisme adalah budaya yang menyatakan bahwa manusia dipersatukan manjadi satu kebudayaan tunggal oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Perkembangan IPTEK membuat hilangnya jarak geografis dan kian terkoneksikannya manusia dalam jejaring global . Budaya Kosmopolitanisme membuat manusia dapat dengan cepat mengetahui informasi atau kejadian yang terjadi di belahan dunia lain. Isu-isu global menjadi bagian dari pengalaman sehari-hari dan menjadi bagian dari kehidupan moral semua orang. Kebudayaan Kosmopolitanisme memungkinkan semua suku, bangsa menjadi satu komunitas yang memiliki moralitas yang sama. Infrastruktur kosmopolitanisme adalah kosmopolis. Kosmopolis adalah semacam jejaring. Kosmopolis terbentuk lewat interaksi masyarakat yang saling berkomunikasi dan membentuk kerumunan atau kelompok temporer dalam ruang maya ataupun nyata.
C. Perspektif Historis Kosmopolitanisme dan Prinsip-Prinsip Etis Yang Diimplikasikannya
   Seperti telah dijelaskan bahwa Budaya Kosmopolitanisme adalah budaya yang menyatakan bahwa manusia dipersatukan manjadi satu kebudayaan tunggal oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Perkembangan IPTEK membuat hilangnya jarak geografis dan kian terkoneksikannya manusia dalam jejaring global. Berikut akan dijelaskan perspektif historis Kosmopolitanisme, karakter dasarnya, masalah-masalah yang ditimbulkannya dan prinsip-prinsip etis yang diimplikasikannya.
1). Perspektif Historis Kosmopolitanisme
   Budaya Kosmopolitanisme bukanlah sesuatu yang baru. Jika diliha kebelakang, ke tradisi imajinasi utopian Barat, Ia sudah ada meski implisit pada gagasan Agustinus tentang The City of God, yang membayangkan bahwa ideal-ideal masyarakat Romawi suatu ketika akan berlanjut dan menemukan kepenuhannya. Tetapi di luar itu pun, kosmopolitanisme sudah salalu merupakan ambisi dan ekspektasi, atau langgam dasar kiprah dunia barat. Itu terasa eksplesit terutama sejak periode Pencerahan abad ke-18, dan bertumbuh lanjut melalui kolonialisme oleh bangsa-bangsa Eropa. Kolonialisme membuka jalan untuk tersingkapnya khasanah pengetahuan yang amat luas dari seluruh dunia, tentang budaya, sistem kepercayaan, bahasa, lingkungan geografis yang diperlukan bagi sains modern yang baru. Bersamaan dengan itu gagasan tentang negara-bangsa ditekankan sebagai prinsip organisatoris yang perlu guna meraih cita-cita kemajuan komunitas (Oleh Kant dan Hegel). Konsep negara adalah kerangka yang dimaksudkan untuk menjamin terbentuknya komunitas ideal yang rasional dan bertatanan moral. Singkatnya, proyek pencerahan, yang Eurosentris, telah merintis jalan ke arah kosmopolitanisme yang ujungnya kini kita alami.  Meskipun demikian, dalam konteks postkolonial dan postmodern saat ini, berbagai perkembangan telah memperumit gambaran tentang kosmopolitanisme.
2). Masalah-masalah yang ditimbulkan
     Kosmopolitanisme modern disatu pihak telah membangun pengetahuan sosial dan institusi dengan pola-pola yang telah diteliti dan dimantapkan secara ilmiah; namun di lain pihak kini bermunculan gejala-gejala baru yang tak terduga seperti: aneka aliran yang saling berlintasan macam aliran manusia, uang, maji, ideologi dan sebagainya. Dunia menjadi jejaring di mana semua medan imajiner itu saling terkait  sekaligus tumpang tindih, heterogen, kompleks dan sangat dinamis. Mekanisme kerja jejaring itu sedemikian baru sehingga regulasi-regulasi ala negara-bangsa tidak lagi memadai untuk mengendalikannya.
     Masalah yang ditimbulkan juga berupa perubahan arah refleksi yang mulai bergerak ke masa depan bersama, kebalikan dari memori kolektif dari perspektif begara-bangsa, yang terarah ke masa lampau. Kesadaran kolektif atas masa depan mulai menggantikan pentingnya kesadaran atas tradisi. Tradisi masyarakat kosmopolitan kini adalah tradisi masa depan, masa depan yang rapuh dan tak pasti. Akibat dari situasi itu adalah, masyarakat kosmopolitan kini menghadapi dilema; di satu pihak kesadaran kolektif atas masa depan telah muncul namun tidak disertai tindakan-tindakan terinstitusi yang memadai ke arah masa depan, di pihak lain, masih banyak praktik sosio-kultural didasarkan pada memori kolektif nasional, yang memendam dendam dan kekerasan dari masa lalu, tanpa kesadaran memadai terhadap masa depan.
3). Prinsip-prinsip Etis
    Prinsip etis kosmopolitanisme yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan adalah: hospitalitas (keramahan menerima pihak lain), tanggung jawab dan reflektivitas. Hospitalitas di sini bukanlah sekedar hak, melainkan sensibilitas yang mendorong terbentuknya kesadaran kritis dalam hubungan-hubungan sosial dan praktik institusional. Hospital mengandung tindakan mempertanyakan otoritas atau kekuasaan, mempertanyakan cara suatu otoritas dikonstruksi sekaligus batas-batas otoritas itu. Karena itu, hospitalitas bukanlah semata-mata tentang aturan tinggal, dengan kekuasaan asimetris tak setara yang berujung pada dominasi, melainkan tentang pengakuan bahwa keduanya saling membentuk, sesuatu yang relasional sekaligus bergeser-geser, layaknya kodrat semua identitas. Tanggung jawab di sini muncul sebagai respon terhadap kerapuhan dan derita, yang tampil melalui hubungan wajah, melalui titah tanpa suara dari sang liyan yang diarahkan kepadaku, yang mengandung rasa keadilan dan kasih. Meski orang dari budaya yang berbeda bisa jadi akan tetap tidak sepakat tentang apa yang dianggap "baik", kiranya ia masih mungkin untuk bersepakat bahwa penderitaan tak bisa ditolelir. Manusia memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk melawan penderitaan, atau pun melawan pemerintah yang tak mampu melindungi hak-hak manusia. Disamping itu, diperlukan juga refleksitas baik terhadap nilai budaya lain maupun terhadap konteks budaya kita sendiri. Refleksivitas ironis membuat kita tak pernah bisa yakin dan pasti atas "vokabulari utama"- atau kaidah universal-yang bisa kita gunakan untuk menghakimi budaya lain.
D). "Hegemoni" Dalam Konteks Kebudayaan Kosmopolitan
     Tendensi Hegemoni merupakan kontetasi kekuasaan gagasan, wacana, dan kepentingan; kekuasaan yang dominan adalah yang berhasil mem-"frame" berbagai kepentingan dan pengertian yang berbeda di luar dirinya, ke dalam kerangka idea dan wacananya sendiri, sehingga semua tampak sebagai hal yang natural dan seolah seharusnya demikian. Namun kerangka berpikir demikian kini tidak cukup memadai.
     Dalam perspektif lebih luas diperlukan kerangka berpikir yang lebih bersifat relasional. Artinya, identitas dan kebudayaan adalah sebuah proses yang berkembang terus melalui proses interaksi timbal balik semua dengan semua. Identitas adalah sesuatu yang senantiasa dalam proses "menjadi", melalui segala bentuk relasi dengan yang lain di luarnya. Kensekuensinya, selalu ada unsur-unsur "asing" juga dalam diri sistem budaya, agama, ataupun ras kita. Bahwasanya dalam konteks tertentu relasi itu ternyata hegemonik, itu pun tidak menunjukkan bahwa setiap relasi dan setiap artikulasi identitas niscaya berkecenderungan hegemonik. Jadi, Hegemoni dalam konsteks kebudayaan Kosmopolitanisme adalah interaksi timbal balik semua dengan semua (identitas dan kebudayaan satu dengan yang lain) yang memunculkan unsur-unsur baru dalam suatu kebudayaan tertentu yang sekaligus memperkayanya. Relasi itu dinamakan relasi hegemonik dalam konteks budaya kosmopolitanisme.
E). Refleksi Atas Kebudayaan Lokal
     Kebudayaan harus dilandaskan pada komitmen demi suautu tujuan yang mulia. Kebudayaan sebagai komitmen mengarahkan kita pada kosmopolitanisme yang semakin berkembang luas karena pengaruh perkembangan IPTEK. Refleksi ini juga berangkat dari pengalaman pribadi baik dalam lingkungan komunitas maupun dalam lingkungan budaya sendiri. Saya mendapatkan bahwa dalam komunitas Studi atau kominitas apapun itu maupun dalam budaya saya, telah terjadi relasi antara budaya. Relasi antar budaya itu di satu pihak memperkaya budaya, namun di satu pihak juga menimbulkan permasalahan. Misalnya di komunitas Skolastikat, para Frater berasal dari berbagai suku dan bahasa yang berbeda-beda. Ada Frater yang berasal dari Maluku, Jawa, Sulawesi, Kalimantan sampai Papua. Perbedaan budaya dari para Frater menjadi kekayaan jikalau terjadi relasi yang harmonis diantara para Frater. Artinya setiap Frater dapat menerima dan menghargai setiap perbedaan yang ada dan berusaha membangun relasi yang merujuk pada keharmonisan (hidup yang bermakna). Sementara di budaya saja, saya menjumpai bahwa telah masuk berbagai suku, bangsa dan budaya baik dari Budaya Timur lainnya mapun dari Budaya Barat. Itu semua dipengaruhi oleh perkembangan IPTEK. Namun saya menjumpai masyarakat masih melestarikan kebudayaan lokal tanpa menolak kebudayaan yang lain. Hal ini membuat saya merasakan bahwa masyarakat telah mempunyai sikap penghargaan terhadap budaya lain, tapi di lain pihak tidak kehilangan sikap kritisnya akan budaya lain. Sikap kritis  untuk memilah baik buruknya suatu kebudayaan bagi kebudayaan lokal.
     Relasi antar budaya yang saya temukan baik di komunitas Skolastikat maupun di budaya saya sendiri memperkaya pemahaman saya akan budaya. Saya tidak hanya tertutup pada pemikiran sempit akan budaya yang saya bawa semenjak kecil, tapi bulai terbuka pada budaya lain. Saya belajar dari teman-teman yang berasal dari budaya lain misalnya tentang penghormatan terhadap orang lain. Di budaya saya, penghormatan terhadap orang yang lebih tua itu wajib hukumnya. Tapi di lain pihak terdapat sikap merendahkan mereka yang muda atau yang berasal dari golongan bahwa. Melalui interaksi budaya ini, saya menemukan bahwa baik tua maupun muda, baik golongan tinggi maupun golongan bahwa kita harus menghormatinya sebagaimana kita menghormati diri kita sendiri. Pemahaman ini saya dapatkan ketika bertemu dan berinteraksi dengan teman-teman dari budaya lain ataupun dari pengetahuan yang saya pelajari. Oleh karena itu, saya bersyukur boleh mempelajari tentang kebudayaan sebagai komitmen dan budaya kosmopolitanismen. Karena melalui tugas ini, saya disadarkan untuk semakin terbuka, kritis dan membangun suatu relasi lintas budaya demi membangun suatu kehidupan yang bermakna.
Penutup
    Kebudayaan sebagai komitmen merupakan suatu gerakan untuk secara bersama-sama mempertahankan suatu kehidupan tertentu yang lebih baik atau suatu kehidupan yang bermakna. Komitmen yang didasarkan akan ikatan antar kebudaya-kebudayaan yang kemudian meluas hingga ke tingkat global. Kebudayaan harus dilandaskan pada komitmen demi suautu tujuan yang mulia. Kebudayaan sebagai komitmen mengarahkan kita pada kosmopolitanisme yang semakin berkembang luas karena pengaruh perkembangan IPTEK.
 Daftar PustakaÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H