2.2. Kepedulian Terhadap Kepentingan-Kepentingan Kaum Buruh
    Sejalan dengan apa yang di lakukan oleh para rasul dan jemaat perdana, di masa kini Gereja melihat hal itu bisa di teruskan oleh bukan hanya Gereja tetapi terpenting adalah peran dan campur tangan negara. Di katakana negara karena hal ini melibatkan penguasa-penguasa yang memikirkan dan menetapkan semua kebijakan negara yang akan di taati oleh seluruh warga negara. Dengan penetapan kebijakan yang memang diarahkan untuk pembinaan dan pengembangan masyarakat akan sangat membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, hal ini karena pembayaran upah yang tepat waktu dan sesuai dengan UMR dan UMP yang telah di tetapkan oleh pemerintah pusat dan daerah. Mengapa pemerintah wajib mempedulikan kesejahteraan masyarakat? Hal ini karena gereja melihat adanya kewajiban kodrati yang ada pada pemerintah untuk memeliharanya menjadikan kepedulian akan kesejahteraan umum bukan hanya hukum tertinggi bagi negara, melainkan juga seluruh dan satu-satunya dasar eksistensinya. Karena juga administrasi negara harus digunakan demi kemajuan rakyat yang diperintahkan, bukan pejabat pemerintah. Hal ini karena kedaulatan pemerintah berasal dari Allah dan dapat dipandang sebagai partisipasi  dalam kedaulatan tertinggi-Nya, maka pola yang harus dianut adalah kedaulatan Allah, yang bagaikan Bapa memperdulikan masing-masing ciptaan seperti juga alam semesta. Oleh karena itu pemerintah harus bercmpur tangan, bila kepentingan umum atau kepentingan kelompok khususnya dirugikan atau terancam bahaya, asal memang itulah satu-satunya jalan untuk mencegah atau menyingkirkan kejahatan.[6]   Â
2.3. Upah Yang Adil
 Dalam NE artikel 44 dijelaskan bahwa, di perlukan pemahaman dan kesadaran untuk tidak melanggar hak pihak yang satu maupun yang lain. Ada yang membela pendapat bahwa karena jenjang upah ditetapkan berdasarkan persetujuan bebas maka majikan membayar sudah memenuhi kontraknya dengan membayar upah yang disetujui dengan demikian ia tidak mempunyai kewajiban lain lagi. Sedangkan hanya akan terjadi ketidak adilan, bila majikan tidak membayar upah itu sepenuhnya, atau buruh tidak menjalankan tugasnya sepenuh hati. Tidak lain hanya dalam kasus-kasus itu tepatlah, bila pemerintah ikut camput tangan dan menuntut masing-masing pihak untuk memeberikan apa yang menjadi hak pihak lain. Mengapa demikian? Hal ini karena bekerja berarti menjalankan usaha untuk memperoleh hal-hal yang diperlukan memenuhi pelbagai kebutuhan hidup dan terutama untuk hidup sendiri (bdk. Kej. 3:19).[7] Setelah memahami ajaran gereja melalui NE, apa proyek pastoral yang tepat untuk membantu kaum buruh? Lebih jelasnya akan diuraikan pada pokok berikut ini.
3. Proyek PastoralÂ
   Setelah mengikuti uraian di atas melalui contoh-contoh kasus dan Ensiklik Rerum Novarum tentang kesenjangan anatara pekerja dan pemilik modal maka penulis melihat bahwa pentingnya bermitra antara institusi gereja, pemerintah dan pengusaha (perusahaan).  Proyek pastoral ini bermaksud untuk bersama-sama mengembangkan masyarakat khususnya kaum buruh dan pekerja. Penullis melihat bahwa proyek ini sesungguhnya mendatangkan keuntungan bagi ketiga institusi ini juga masyarakat yang semakin makmur. Masyarakat yang makmur dan sejahtera inilah yang menjadi misi utama. Nah, apa yang di maksudkan dengan pendekatan pastoral bermitra ini? Penulis melihat pendekatan ini sebagai jalan untuk merangkul semua pemangku kekuasaan dan kebijakan untuk tidak hanya memikirkan diri sendiri tetapi mulai berpikir secara holistik untuk menciptakan keseimbangan demi kepentingan bersama, dimana sama-sama saling menguntungkan. Gereja menerima keuntungan melalui umat manusia yang hidup makmur dan semakin sadar bahwa semua itu berkat dari Tuhan Yesus Kristus sehingga umat bersyukur kepada Tuhan. Umat di sini bukan hanya masyarakat kecil: pekerja atau buruh tetapi juga pemerintah dan para pengusaha. Lalu apa yang diterima dari pemerintah? Yaitu terbentuknya kesejahteraan bagi seluruh masyarakat dari kota hingga ke desa. Hal ini bisa terjadi karena kerjasama dengan gereja dan pengusaha untuk mensejahterakan masyarakat. Pembangunan infrastruktur, pembinaan moral dan iman umat, meningkatkan minat wirausaha dalam masyarakat. Sedangkan para pengusaha menerima keuntungan dari gereja, pemerintah dan masyarakat sebagai mitra kerja dan konsumen yang juga turut berkontri busi bagi perusahaan itu sendiri. Dengan demikian maka persoalan masyarakat seperti kemiskinan, kekerasan, pembunuhan dan pemberontakan itu tidak terjadi sebab terciptanya kesejahteraan umum.[8] Â
     Untuk mencapai semua itu maka berikut yang perlu dilakukan oleh ketiga instituasi ini yaitu: Melalui Upaya Pemerintah Mengatasi Ketimpangan Sosial dalam Aspek Ekonomi. Berikut ini beberapa upaya yang perlu dilakukan pemerintah dalam mengatasi Ketimpangan Sosial dalam aspek Ekonomi: Strategi pertama yang dilakukan pemerintah terkait kesehatan anak usia 5 tahun ke bawah, khususnya terkait stunting (kurang gizi). Stunting dipandang memperparah kemiskinan sehingga harus diturunkan. Kedua, soal bantuan sosial yang belum tepat sasaran. Masih banyak warga tidak mampu yang belum tersentuh bantuan karena kurangnya sinkronisasi data. Ketiga, soal peluang pekerjaan, karena pertumbuhan ekonomi didukung oleh penciptaan lapangan kerja baru. Pemerintah memprioritaskan untuk pendidikan vokasi untuk mengatasi persoalan pengangguran. Tenaga kerja yang memiliki keterampilan lebih mudah diserap pasar tenaga kerja. Keempat, menurunkan ketimpangan kekayaan. Selama ini, pendapatan pajak penghasilan masih didominasi oleh kalangan pekerja. Sedangkan, pajak penghasilan orang pribadi belum optimal. Padahal, kalangan di luar pekerja seperti direksi, pengusaha, pemilik modal lebih besar kewajiban pajaknya dibanding para pekerja. Strategi kelima, menciptakan wirausaha secara massal. Sebagai contoh yang terjadi di Asia Timur seperti Taiwan dan Korea, di mana kemiskinan diatasi dengan berwirausaha. Tantangan pelaksanaan strategi itu adalah kerja sama dari berbagai pihak di internal pemerintahan. Selain itu, dukungan dari swasta khususnya dunia usaha dibutuhkan untuk mengatasi ketimpangan. Dari pihak gereja, lebih menigkatkan dialog dengan pemerintah dan para pengusaha untuk tetap konsisten membangun kesadaran akan pentingnya kesejahteraan masyarakat kecil teristimewa kaum buruh dan pekerja. Selain itu gereja secara rutin membina kehidupan iman, moral masyarakat mulai dari anak-anak hingga dewasa pada setiap jenjang. Agar tercipta keharmonisan dalam hidup bersyarakat dan bernegara. Dengan demikian  tercipta sebuah matarantai kehidupan yang harmoni.[9]Â
4. Penutup
   KesimpulanÂ
   Realitas masalalu dan kini itu tetap sama saja dan tak ada jalan keluar hal ini dapat kita temukan melalui contoh-contoh kasus kini tetapi jauh sebelumnya sudah terjadi dan itulah yang menjadi latar belakang munculnya Ensiklik Rerum Novarum. Kondisi itu bertahun-tahun sudah diusahakan untuk menciptkan suatu kesejahteraan bagi masyarakat kecil sehingga tidak terjadi ketimpangan ekonomi, tetapi selalu terhalang oleh merosotnya moral setiap pemimpin institusi. Melihat itu maka penulis berusaha menggunakan pendekatan pastoral "bermitra" untuk merangkul semua institusi untuk bersinergi dalam membangun masyarakat dan menciptakan keharmonisan dan kesejahteraan secara ekonomi dan social dalam masyarakat. Dimana melalui pendekatan bermitra ini terbentuk sebuah mata rantai yang membuat semuanya berada dalam sistem. Penulis menyadari bahwa untuk menjaga mata rantai ini tetap terjaga yaitu moralitas dalam bentuk praktik yang harus menjadi habbit bagi setiap institusi kehususnya para pemimpin.
5. Daftar Pustaka