1.1. Kasus PT. Panca Puji Bangun
    PT Panca Puji Bangun sudah berkekuatan hukum tetap. Kasus bermula saat PT Panca Puji Bangun itu mempekerjakan 50 orang karyawan di pabriknya di Jalan Tanjung Anom, Surabaya pada 2004. Nah, dalam kurun 2004-2010, PT Panca Puji Bangun menggaji buruhnya di bawah UMR. Yaitu:
- Upah terendah yaitu Rp 680 ribu sebanyak 40 orang.
- Upah tertinggi sebesar Rp 1,2 juta.
- Selain itu, buruh mendapatkan tunjangan tidak tetap yang besarnya bervariasi, berupa yang hadir, uang makan dan uang premi. Salah satu karyawan yang bernama Yudi Santoso mendapatkan upah dengan rincian:
     a) Gaji pokok Rp 300 ribu.
     b) Tunjangan keluarga Rp 30 ribu.
     c) Tunjangan rumah Rp 150 ribu.
     d) Tunjangan transportasi Rp 6 ribu per kedatangan.
     e) Uang premi Rp 50 ribu.
     Gaji di atas juga dirasakan tak jauh beda oleh M Setiyo Budi. Kala itu, UMR Kota Surabaya sebesar Rp 934.500. Pada 2007, PT Panca Puji Bangun merumahkan Yudi dan Setiyo dengan alasan kinerja keduanya di bawah standar.[1]
     Dalam kasus ini jika kita analisis dari segi etika bisnis maka PT. Panca Puji Bangun melakukan pelanggaran etika bisnis sebagai berikut: pertama, melanggar prinsip keadilan karena karyawan telah melaksanakan kewajiban terhadap perusahaan tetapi tidak menerima upah sesuai dengan standar yang di tetapkan oleh pemerintah dalam kaitan dengan itu maka perusahaan juga melanggar keadilan legal karena melanggar aturan pemerintah Indonesia tentang UMR yaitu dengan melanggar Pasal 90 ayat 1, Pasal 185 ayat 3 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal itu berbunyi: Pasal 91 ayat 1 berbunyi: Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun Pasal 185 berbunyi: 1. Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 90 ayat (1), Pasal 143, dan Pasal 160 ayat (4) dan ayat (7), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 4 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100 juta dan paling banyak Rp 400 juta. 2. Tindak pidana sebagaimanadimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.
Kedua, prinsip saling menguntungkan di mana dalam kasus ini, PT. Panca Puji Bangun sendiri yang diuntungkan sedangkan para karyawan yang melakukan aktifitas produksi dirugikan.[2]Â
1.2. Kasus PT Alpen Food Industry
     Menjadi salah satu jantung pagelaran olah raga antar cabang yang mempertaruhkan kredibilitas Indonesia. Es krim Aice, nama produk PT AFI, terpampang sebagai sponsor Asian Games 2018. Di sisi lain, PT. AFI mengalirkan es krim Aice ke 106 daerah di Indonesia, salah satunya ke minimarket OK OCE daerah Cikajang, Jakarta Selatan. Padahal PT. AFI diduga melanggar hukum karena menghargai hak buruh dengan murah. Agus, yang bekerja di bagian logistik, adalah salah satu dari 644 buruh PT. AFI yang perlahan memeriksa pelanggaran hukum perusahaan. Semula para buruh tak pernah menyadari hal ini sejak mereka direkrut. Awalnya Agus tergiur ditawari oleh rekannya untuk bekerja di PT AFI. Ia menyiapkan surat lamaran dan surat keterangan catatan kepolisian. Tak sampai 24 jam, ia menerima panggilan telepon dari PT AFI untuk wawancara. Usai wawancara selama hanya 5 menit, ia disuruh datang ke pabrik PT AFI di kawasan industri MM2100, Cibitung, Bekasi. Agus bekerja tanpa kontrak, dan langsung diminta ke bagian kualitas produk. Hari-hari berikutnya tenaga Agus diperas oleh PT AFI. Ia hanya mendapatkan libur sehari setiap tiga minggu. Gajinya di bawah upah minimum Kabupaten Bekasi tahun 2016, yakni Rp2,7 juta dari seharusnya Rp3,3 juta. Saat itu, ia mulai mengorganisir buruh untuk sekadar bertanya soal hak pekerja. Ia lantas mampu membangun relasi senasib sepengalaman dengan 440 buruh lain. Tapi, perusahaan memutus kontrak kerjanya pada awal Agustus 2017. Pola PHK terhadap Agus pun janggal: ia tak diberitahu minimal tujuh hari sebelum masa kontrak berakhir. Dalam aturan hukum perburuhan di Indonesia, Agus seharusnya jadi pegawai tetap karena ia telah bekerja 25 hari dalam sebulan selama tiga bulan berturut-turut.[3] Â
     Pelanggaran etika bisnis dari PT. Alpen Food Industry ini sama juga dengan pelanggaran yang di lakukan oleh PT. Panca Puji Bangun yaitu prinsip keadilan dan prinsip saling menguntungkan. Nah, dari contoh-contoh kasus ini, maka bagaimana Gereja Katolik menyikapinya? Berikut ini akan diuraikan pandangan gereja atau ajaran gereja Katolik tentang hal ini.
2. Bagaimana Ajaran Sosial Gereja (ASG) Menyikapi Realitas Tersebut?
   Di dalam gereja Katolik ada ajaran yang menaruh perhatian penuh terhadap realitas-realitas demikian, hal ini dapat kita temukan lewat Ensiklik Rerum Novarum (Kondisi Kerja) yang di buat oleh Paus Leo XIII tahun 1891. Ensiklik ini menaruh perhatian pada keprihatinan akan kondisi kerja di zaman itu dan tentu saja juga nasib para buruh. Tampaknya masyarakat terindustrialisasi mengubah pola lama hidup bersama dalam pertanian tetapi para buruh malah mendapatkan perlakuan buruk. Mereka di peras hingga jatuh dalam kemiskinan structural yang luar biasa. Mereka tidak mendapatkan keadilan dalam upah dan perlakuan. Melalui Ensiklik ini, Gereja menaruh perhatian pada masalah-masalah sosial secara sistematis dan dalam jalan pikiran yang berangkat dari prinsip keadilan universal. Melalui RN hak-hak buruh dibahas dan dibela, hal ini karena pokok-pokok pemikira RN menampilkan tanggapan gereja atas isu-isu keadilan dan pembelaan atas martabat manusia yaitu kaum buruh. lewat keadilan upah pekerja; hak-hak buruh, hak milik pribadi (melawan gagasan Marxis-komunis), konsep keadilan dalam konteks pengertian hukum kodrat; persaudaraan antara yang kaya dan miskin untuk melawan kemiskinan (melawan gagasan dialektis Marxis), kesejahteraan umum, hak-hak negara untuk campur tangan (melawan gagasan komunisme), soal pemogokan, hak membentuk serikat kerja, dan tugas Gereja dalam membangun keadilan sosial.[4]
2.1. Ketimpangan-Ketimpangan Dan Jerih Payah Kerja Tidak Terelakan
    Perlu diketahui bahwa, masyarakat harus menerima adanya kenyataan masalah persoalan manusiawi. Karena di dalam masyarakat memang mustahil bagi masyarakat di lapisan bawah untuk menyamai mereka di tingkat atas. Itu dengan gigih di tentang oleh kaum sosialis, hal ini karena pada kenyataannya terdapat perbedaan-perbedaan dalam masyarakat yang tidak dapat dihindarkan. Itu terlihat pada perbedaan bakat-kemampuan atau keterampilan, kesehatan atau kekuatan profit dari segi ekonomi. Perbedaan-perbedaan yang tak terhindarkan itu dengan sendirinya menimbulkan ketidak-samaan kondisi hidup dalam masyarakt. Nah, untuk menyikapi itu maka dalam artikel ke 15-17, RN menekankan pentingnya prinsip keadilan dalam diri setiap individu baik pemilik modal (pengusaha) maupun para pekerja (buruh). Disini di tekankan tentang pentingnya keduabelah pihak untuk melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya masing-masing, sehingga keuntungan diperoleh bersama. Jika hal itu terwujud maka sesungguhnya tidak terjadi ketimpangan-ketimpangan dalam masyarakat karena hak dan kewajiban terpenuhi sesuai standar upah yang berlaku.[5] Â