Konsep Negara Indonesia
Indonesia adalah negara demokrasi yang mengedepankan asas Kedaulatan Rakyat. Pancasila dijadikan sebagai dasar untuk kehidupan berbangsa dan bernegara, yang kemudian dijamin dan diatur dalam UUD 1945. Setiap warga negara Indonesia, memiliki hak dan kedudukan yang sama dimata hukum, serta dalam menjalankan kehidupannya. Demokrasi yang berlandaskan pancasila adalah jalan terbaik untuk mewujudkan cita-cita bangsa.
Jika kita lihat dalam konteks sekarang, maka demokrasi berdasarkan asas kedaulatan rakyat yang dikemukakan Bung Hatta memang baik adanya, namun tidak berjalan dengan semestinya. Demokrasi di Indonesia lebih banyak mengikuti konsep Barat dan banyak meninggalkan konsep asli masyarakat Indonesia. Kebebasan-kebebasan demokratis tidak dapat diketahui dengan jelas, karena tidak ada bentuk konkretnya. Kemudian, kebebasan-kebebasan setiap individu dewasa ini banyak dilanggar karena sistem politik yang buruk dan juga distori dari pemaknaan agama.
Dari perjalanan perjuangan bangsa Indonesia, banyak tokoh perintis bangsa yang mengemukakan pemikiran-pemikirannya tentang kehidupan dan cita-cita bangsa ini. Namun, hanya sedikit yang mampu tampil dan menjadi visioner atas pemikiran mereka. Diantaranya adalah Mohammad Hatta, yang dikenal sebagai pemimpin yang “dingin”, sederhana serta tokoh pemikir hebat.
Bung Hatta dikenal sebagai peletak dasar konsep keindonesiaan yang lebih mendalam, seperti demokrasi, keadilan dan keterbukaan. Menurutnya, penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan harus berdasarkan asas kedaulatan rakyat, dimana ‘pemerintah’ hanya menjadi wakil dari rakyat.
Jalan pemerintahan harus di dasari atas kebutuhan dan kehendak rakyat, karena mereka sebagai pusat pimpinan tertinggi dalam pemerintahan. Oleh karena itu, untuk membangun Indonesia kearah yang lebih maju dan beradab (berdasarkan adab dan budaya bangsa Indonesia) maka diperlukan yang namanya demokrasi yang berlatar keindonesiaan. Demokrasi yang dimaksud Hatta adalah demokrasi yang berwatak sosialis dalam konteks keindonesiaan.
Pemikiran Hatta tentang demokrasi ini berangkat dari sikapnya yang kritis, akan tetapi rasional terhadap demokrasi Barat. Sebab menurutnya, sebenarnya demokrasi Barat itu baik, karena berlandaskan pada prinsip kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan sebagaimana yang tertuang dalam Revolusi Perancis tahun 1789.
Akan tetapi, menurutnya demokrasi Barat telah mengalami distorsi, sehingga tidak cocok untuk dijadikan sebagai pedoman dalam membangun Indonesia merdeka. Jelas disini bahwa ketidaksetujuan Hatta terhadap demokrasi Barat tidak terletak pada substansi idealnya, melainkan pada penerapannya yang bertolak belakang pada prinsip-prinsip semboyan Revolusi Perancis (liberte, egalite, and fraternite).
Hatta mengkritik demokrasi Barat karena dianggap kebebasan individu berpotensi mengakibatkan ketidakadilan pada masyarakat secara menyeluruh karena yang merasakan kedaulatan hanyalah para kaum borjuis. Ini dibuktikan pada kondisi kehidupan masyarakat eropa pada abad ke-19, dimana kedaulatan dibidang sosial, politik, dan ekonomi hanya terbatas pada kalangan kelas menengah dan atas saja. Hal ini dikarenakan Eropa menganut paham ekonomi kapitalis, sehingga hanya dari kalangan menengah keatas yang dapat merasakan kesejahteraan baik dibidang ekonomi, politik, dan sosial. Oleh karena itu, Bung Hatta mengkritik demokrasi Barat sebagai berikut:
“Jadinya, demokrasi Barat yang dilahirkan oleh Revolusi Perancis tiada membawa kemerdekaan rakyat yang sebenarnya, melainkan menimbulkan kekuasaan kapitalisme. Sebab itu demokrasi politik saja tidak cukup untuk mencapai demokrasi yang sebenarnya, yaitu kedaulatan rakyat. Haruslah ada pula demokrasi ekonomi, yang memakai dasar, bahwa segala penghasilan yang mengenal penghidupan orang banyak harus berlaku dibawah tanggungan orang banyak juga.”
Jika ditilik secara teliti, maka kita akan mengetahui bahwa ada tiga sumber yang menghidupkan cita-cita demokrasi sosial. Pertama, paham sosialis Barat, karena dasar-dasar kemanusiaan yang dibelanya dan menjadi tujuannya. Kedua, ajaran agama, yang menuntut kebenaran dan keadilan Ilahi dalam masyarakat serta persaudaraan antara manusia sebagai makhluk Tuhan. Ketiga, pengetahuan bahwa masyarakat Indonesia berdasarkan kolektivisme.
Konsep demokrasi sudah dikenal oleh masyarakat Indonesia sejak masa kolonialisme. Konsep ini berkembang dalam kehidupan masyarakat di pedesaan. Sejak masa feodal, masyarakat Indonesia hidup dalam sistem kolektivisme yang telah mengakar kuat di desa.
Hal ini dikarenakan pola dan sistem kehidupan pada saat itu didasarkan pada kehidupan bersama, yang meliputi kepemilikan bersama. Segala bentuk produksi dan usaha yang dilakukan harus melalui kesepakatan bersama dan dikerjakan secara gotong-royong. Hal ini menjadi alasan agar demokrasi desa menjadi dasar terhadap demokrasi Indonesia.
Perjuangan Bung Hatta
Untuk mewujudkan pemikiran-pemikirannya ini, Bung Hatta tidak hanya mengemukakan pendapat melainkan juga terlibat aktif dalam menjelaskan kepada para pemimpin lain, supaya dapat diterapkan dan dimasukkan kedalam UUD 1954. Hal ini dilakukan untuk memberikan dasar yang kuat terhadap demokrasi di Indonesia sebagai bentuk jaminan kepada rakyat. Dalam BPUPKI, Hatta memperjuangkan supaya kebebasan-kebebasan demokratis dimasukkan kedalam UUD.
Kemudian pada 4 November 1945 ia menandatangani maklumat pemerintah agar mengizinkan pembentukan pluralitas partai. Menurutnya jangan memberikan kekuasaan yang tidak terbatas kepada Negara untuk menjadikan Negara baru diatas Negara kekuasaan.
Perjuangan-perjuangan Bung Hatta dalam memasukkan kebebasan-kebebasan demokratis kedalam UUD tidaklah mudah, karena pemikirannya ini tidak sejalan dengan Bung Karno. Menurut Bung Karno, kebebasan-kebebasan demokratis tidak dimasukkan kedalam UUD karena dinilai berpotensi memberikan kesempatan kepada rakyat nantinya untuk menentang pemerintah. Namun, Hatta bersikeras untuk memasukkan itu kedalam UUD, dengan pemikiran dan penjelasan yang logis serta visioner. Jangan ada lagi pemerintah feudal dan otoriter, untuk mencegah itu maka rakyat harus diberi kebebasan yang juga berlandaskan aturan.
Ironinya, gagasan-gagasan visioner Bung Hatta mengenai demokrasi-kedaulatan rakyat yang mencangkup politik dan ekonomi telah mengalami kemunduran oleh hegemoni politik setelahnya. Kedaulatan rakyat tidak sepenuhnya terlaksana, melainkan "kedaulatan kelompok" lah yang terjadi. Keadaan ini merupakan konsekuensi dari sistem pemerintahan yang lemah dan resistensi dari oligarki. Maka, cita-cita luhur mengenai demokrasi kebangsaan hanya sebatas ekpetasi yang tidak pernah terealisasikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H