Mohon tunggu...
Eka Sulistiyowati
Eka Sulistiyowati Mohon Tunggu... Administrasi - karyawan

aku tahu rezekiku takkan diambil orang lain, karenanya hatiku tenang. aku tahu amal-amalku takkan dikerjakan orang lain, karenanya kusibukkan diri dengan beramal

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Maaf, Kupilih dia

20 Maret 2019   08:45 Diperbarui: 20 Maret 2019   09:31 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Apa hebatnya dia?" kata Ipul dalam sambungan telpon seluler, "Kerja apa dia, berapa penghasilannya?"

Lagi-lagi Ipul berkata seperti itu. Dia kerapkali merendahkan suamiku. Dia kerapkali membuatku terluka dengan kata-katanya yang menusuk.

"Tak bisakah kau biarkan hidupku tenang?" kataku.

"Bagaimana aku bisa?" tampak di ujung sana emosi Ipul agak mereda, "Aku masih mengharapkanmu"

"Aku sudah bersuami, maaf jika aku dulu pernah menyakitimu"

"Aku bisa memaafkanmu, tapi aku tidak bisa memaafkannya"

"Bukan salahnya, tapi itu murni kesalahanku"

Ipul tampak terisak, "Tak bisakah kau mengerti perasaanku Dian?"

Aku mengerti, amat mengerti, aku juga merasakan sakit yang cukup lama saat aku menolaknya dulu. Tapi seharusnya dirinya sudah melupakanku. Aku yang telah meninggalkannya tujuh tahun yang lalu.

"Maafkan aku Ipul." kataku menyudahi sambungan telpon darinya.

===

Aku terhenyak sambil bersandar di kursi goyang yang kutempatkan di ruang tamu. Rumah sederhana yang aku tempati bersama suami dan kedua anakku ini jauh dari keramaian. Sementara anak-anakku sekolah, aku memiliki waktu untuk sendirian di rumah.

Ipul adalah salah satu dari sekian banyak pria yang menyukaiku di awal pertemuan. Aku bukanlah perempuan cantik yang bisa membuat pria bertekuk lutut padaku. Entah darimananya mereka menyukaiku. Apakah dari cara bicaraku, atau dari tatapanku, aku tidak pernah memikirkannya.

Di usia tujuh belas tahun, aku pernah bertemu dengan seorang pengusaha muda yang supertampan. Jika boleh kukatakan Reino Barack tidak lebih tampan darinya. Usahanya saat itu sangat berkembang hingga ke pelosok daerah. Dia, lelaki yang usianya sembilan tahun di atasku, ternyata menyukaiku sejak awal kami bertemu. Bahkan di perjumpaan awal dia mengungkapkan ingin melamar dan menikahiku. Aku menolaknya bukan karena aku tidak menyukainya. 

Parasnya yang tampan, tubuh tegapnya, santun tutur katanya tentu saja membuatku juga menyukainya. Hanya saja aku belum siap untuk menikah. Aku baru lulus SMA. Aku masih ingin meneruskan sekolahku di bangku kuliah. Dia pun melepasku. Tapi setiap dirinya bertemu orangtuaku, dirinya selalu bertanya kabarku. Tak segan dirinya menceritakan perihal tentangku pada istrinya. Menurutnya,aku masih perempuan istimewa setelah ibunya.

Sepuluh tahun yang lalu, di usiaku yang menginjak dua puluh dua tahun. Dengan ijazah strata satu di tanganku mendadak aku bertemu dengan seorang pria. Kali ini dia memang tidak tampan dan terkesan menyebalkan. Sekalipun menyebalkan, aku masih menanggapi semua pertanyaannya. Dirinya pun luluh. 

Di awal pertemuan kami itu dia pun menawarkan pernikahan padaku. Aku tentu saja tahu dia siapa. Bekerja di perusahaan mentereng tingkat dunia. Gajinya saat itu lima puluh juta per bulan. Bayangkan betapa mewahnya hidupku jika saja aku menerimanya. Namun aku sadar diri. Hidup dari keluarga yang amat sederhana membuatku tidak tergiur dengan banyaknya harta. Aku menolaknya secara halus. Aku tak bisa lulus kuliah langsung menikah karena masih ada adik-adikku yang harus aku sekolahkan.

Pernah juga saat di kereta Surabaya-Jakarta bertemu pengusaha muda. Dan tampaknya dia amat tertarik padaku. Entah apa yang ada di pikiran para lelaki yang hanya dengan perjumpaan pertama sudah menawarkan pernikahan. Apakah diriku memang benar-benar perempuan istimewa. Ataukah mereka hanya bersenda gurau belaka. Entahlah.

Pria lain yang juga menyukaiku saat pertama bertemu adalah suamiku. Dia bukan pengusaha muda, bukan juga karyawan di perusahaan yang mentereng tingkat internasional. Dia hanya laki-laki biasa. Tidak tampan dan tidak kaya. Sangat sederhana dan dermawan. Sejak pertemuan pertama dia mengutarakan ingin menikahiku. Dan benar adanya, di pertemuan kami yang ketiga dia membawa keluarganya untuk melamarku. Terhitung dua bulan kemudian kami menikah.

Sampai detik ini masih ada beberapa pria yang sejenak menghubungiku. Sekadar menanyakan kabarku lalu mereka seolah kembali ke masalalu. Berandai-andai aku tidak menolak mereka saat itu. Entahlah, apa aku harusnya berbangga hati atau malah khawatir. Jujur, aku menikah sederhana dengan suamiku, hidup sederhana dengannya, aku tak ingin terusik oleh siapapun. 

Sebuah pesan masuk ke ponselku, membuyarkan lamunanku.

'Sayang, uang sekolah anak2 sudah aku bayarkan, Alhamdulillah. Semoga Allah senantiasa memberikan rejeki yang halal pada keluarga kecil kita'

Aku tersenyum. Ya, aku memilihnya karena di dalam kesederhanaannya ada suatu ketenangan. Aku tidak butuh liburan keluar negeri, membeli perhiasan mahal, membeli tas mewah, membeli baju yang lagi tren, atau apapun itu. Aku hanya ingin ketenangan dan kebahagiaan dalam keluarga kecilku. Biarlah kami terlihat hina di dunia, tapi mulia di hadapan Tuhan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun