"Apa hebatnya dia?" kata Ipul dalam sambungan telpon seluler, "Kerja apa dia, berapa penghasilannya?"
Lagi-lagi Ipul berkata seperti itu. Dia kerapkali merendahkan suamiku. Dia kerapkali membuatku terluka dengan kata-katanya yang menusuk.
"Tak bisakah kau biarkan hidupku tenang?" kataku.
"Bagaimana aku bisa?" tampak di ujung sana emosi Ipul agak mereda, "Aku masih mengharapkanmu"
"Aku sudah bersuami, maaf jika aku dulu pernah menyakitimu"
"Aku bisa memaafkanmu, tapi aku tidak bisa memaafkannya"
"Bukan salahnya, tapi itu murni kesalahanku"
Ipul tampak terisak, "Tak bisakah kau mengerti perasaanku Dian?"
Aku mengerti, amat mengerti, aku juga merasakan sakit yang cukup lama saat aku menolaknya dulu. Tapi seharusnya dirinya sudah melupakanku. Aku yang telah meninggalkannya tujuh tahun yang lalu.
"Maafkan aku Ipul." kataku menyudahi sambungan telpon darinya.
===