"Tapi aku butuh kepastian"
"Kepastian apa dinda?"
Perempuan yang bernama Adinda tampak menatapku dengan mata bulatnya yang mempesona.
"Bagaimana Dinda yakin kalau Mas Farhan mencintai Dinda"
"Apakah lamaranku saja belum cukup untuk membuktikannya?"
Perempuan berkulit putih bersih di hadapanku tampak mengernyitkan dahi, "Aku baru tiga bulan mengenal Mas Farhan. Bahkan Mas Farhan pun tidak pernah mengajakku pergi sekedar makan berdua, atau menggandeng tanganku ketika kita berjalan bersama"
Kini giliran aku yang bimbang. Entah apa yang ada di pikiran perempuan di hadapanku ini. Bukankah dengan menikahinya adalah suatu bentuk cinta yang nyata.
Mengapa dirinya malah menantangku untuk menjalani cinta yang semu. Cinta layaknya remaja masa kini yang kemana-mana berdua. Yang asyik menghabiskan waktu dengan ketawa ketiwi tidak jelas. Atau bergandengan tangan dengan sosok yang bukan muhrimnya.
"Adinda meragukanku?" tanyaku hati-hati.
Perempuan itu mengangguk pelan.
"Haruskah kubuatkan puisi cinta untuk Adinda?"