Aku, ibu dan adikku yang masih berusia sembilan bulan sedang asyik bermain di ruang tamu. Karena haus, ibu menyuruhku mengambil segelas air di dapur. Sebenarnya jarak antara ruang dan tamu cukup dekat, hanya tiga meter saja. Tapi aku harus melewati lorong itu, lorong penghubung antara ruang tamu dan dapur. Di sebelah lorong terdapat satu ruangan yang biasanya kami gunakan untuk tidur. Entah mengapa setiap melewati lorong tersebut rasanya bulu kudukku berdiri, bergidik. Aku bukan tipe orang yang penakut. Buktinya di usia lima tahun, bapak dan ibuku sering meninggalkanku di rumah sendirian. Mereka menginap satu sampai dua hari di Gresik, kota asal mereka. Karena rumahku berada di daerah kampong, maka urusan makan ibuku menyerahkan pada tetangga sebelah rumah.
Dengan langkah pelan aku melewati lorong tersebut. Sebenarnya aku ingin sekali berlari, tetapi ibu pasti marah-marah jika aku berlarian di dalam rumah. Aku juga tidak ingin menoleh pada ruangan kamar tidur di sebelah lorong. Meskipun lampu di kamar tidur tersebut dibiarkan menyala, aura seramnya masih bisa membuatku merinding.
Kepalaku menoleh secara reflek ketika mendengar celotehan bayi di kamar tersebut. Aku melihatnya, melihat adikku yang usianya sembilan bulan sedang belajar berdiri sembari memegang pintu jendela yang terbuka. Adikku melihatku, namun matanya mendelik. Aku tidak yakin itu adalah adikku yang sebenarnya. Aku ingat betul tadi aku dan ibuku bersama adikku di ruang tamu. Mengapa tiba-tiba ada adikku di kamar tidur sendirian dan menatapku dengan mata melotot.
Ibu...Ibu... aku ingin sekali berteriak. Namun seraya suaraku tidak bisa keluar dari mulut. Aku berusaha berjalan meninggalkan lorong tersebut, tapi kakiku pun tidak bisa digerakkan.
Ibu...ibu,....keringatku mengucur deras. Sosok yang menyerupai adikku masih menatapku dengan mata melotot. Syukurnya dirinya tidak merangkak ke arahku seperti yang sering dilakukan adikku jika melihatku.
Tubuhku diguncang keras. Akupun terbangun dengan napas terengah-engah. Ibu menatapku cemas.
"Kenapa tadi manggil ibu dengan suara keras sekali, Rena ketakutan?" tanya ibuku polos.
"Syukurlah, itu hanya mimpi Bu" aku memeluk ibuku.
"Makanya sebelum tidur berdoa dulu" nasihat ibuku.
Aku ingat betul sebelum tidur semalam aku sudah berdoa. Aku selalu melakukan rutinitas cuci kaki dan sikat gigi sebelum tidur. Lalu berdoa sebelum tidur dan tiga surat pendek di bagian akhir Al qur'an.
"Iya Bu..." sahutku.
===
Kebiasaan burukku adalah suka tidur di sofa. Bukannya tidur nyaman di tempat tidur, sukanya malah tidur di ruang tamu di sofa panjang, sendirian.
Kali ini detak jam dinding terdengar begitu keras. Sampai-sampai ingin rasanya aku menyumbat telingaku agar bsa tidur dengan tenang. Mataku terpejam tapi sebenarnya aku belum tertidur pulas.
Kreekkkk...suara pintu ruang tamu terbuka.
Sosok anak kecil berlarian masuk. Aku merasakan hangat di punggungku. Seolah anak kecil itu memegang bagian punggungku. Aku berteriak kencang, namun suara di mulutku tampaknya tersumbat. Aku ketakutan. Kubuka mataku...ah ternyata pintu ruang tamu masih dalam posisi tertutup dan tadi itu hanyalah sepotong mimpi.
Setelah berdoa dalam hati aku melanjutkan tidurku. Peluh keringat di dahiku belum juga kering. Suara jam dinding makin cepat dan makin keras.
Kreekkk suara pintu ruang tamu terbuka.
Sosok anak kecil yang kujumpai di mimpi pertamaku kembali hadir. Berlarian di ruang tamu dengan tawa cekikikan. Lalu tangannya menyentuh punggungku. Terasa hangat menjalar  di tubuhku. Aku terkesiap. Berusaha bangun dari tidurku. Aku yakin ini hanya mimpi saja.
Mataku terbuka. Benar dugaanku, itu hanyalah sekelumit mimpi yang datang dua kali di malam ini. Pintu ruang tamu pun masih tertutup. Mungkin karena aku memang bandel, sekali lagi kulanjutkan tidurku. Namun mimpi yang sama menghampiriku.
Setelah menghadapi mimpi ketiga yang serupa, maka aku memutuskan pindah tidur di kamar tidur. Bergabung bersama ibu juga adikku.
===
Gelap....seperti biasa listrik sedang gencar-gencarnya mati di akhir bulan ini. Ibu menyuruhku mencari lilin yang diletakkannya di pojok ruangan. Aku pun mengambilnya dan ibu menyalakan lilin yang aku ambil tadi.
"Dek...kamu dimana?" ketika kulihat adikku tiba-tiba lenyap begitu saja.
"Dek..." aku melihat sosok adikku yang berada tak jauh dariku. Rupanya dirinya telah menyalakan lilin.
Sosok kecil tadi menoleh ke arahku. Matanya melotot. Ya, sosok yang mirip adikku tadi ternyata bukan adikku, melainkan....
Aku terbangun dari mimpiku.
===
Dua puluh tahun berlalu.
Kini aku dan adikku tinggal di Jakarta karena tuntutan pekerjaan.
"Mbak...kamu waktu kecil sering ketemu kembaranku ya?"
"Kembaran?" aku berusaha mengerti perkataan adikku. Sesungguhnya adikku bukanlah anak kembar.
"Itu yang mirip banget sama aku, tapi matanya melotot" jelas adikku.
"Aku sering lihat dalam mimpi" sahutku berusaha mengingat beberapa peristiwa pertemuanku dengan sosok yang mirip adikku ini.
"Itu beneran tahu Mbak" kata adikku cengingisan.
Adikku memang anak yang indigo. Pantas saja sedari kecil rasa takutnya luar biasa. Mau buang air kecil di kamar mandi saja minta diantar.
"Kamu punya kembaran makhluk halus?" tanyaku.
Adikku mengangguk, "Aku lahir pada hari Kamis pahing pas saat adzan Magrib"
"Apa hubungannya?"
"Sepertinya setiap anak yang lahir pas adzan magrib akan punya kembaran tak kasat mata"
"Oh ya?"
"Kamu sering ketemu dia kan? Sewaktu SMP dia ingin ikut kita pindah ke rumah baru. Tapi aku melarangnya. Sampai sekarang aku belum pernah ketemu lagi dengannya"
"Jadi dia nggak ada di sini kan?"
Adikku menggeleng, "Tapi di belakangmu sedang ada Mbak Kunti yang tertawa cekikikan"
Kurasakan bulu kudukku berdiri.
"Dasar!!!" kataku tak peduli.
Adikku selalu seperti itu, membuat suasana jadi tidak nyaman karena penerawangannya.
Siapa Takut?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H