Hujan adalah berkah Â
Banyak orang mencintai hujan Â
Tak sedikit orang selalu menantikan hujan
Tapi tidak dengannya
Dirinya paling takut dengan hujan
Shofie memandang hujan dari kaca kampusnya. Detak jantungnya tak karuan. Berkali-kali dirinya mengernyitkan mata. Mulutnya terlihat komat kamit membaca lantunan doa. Parasnya memucat. Ya, dirinya memang takut dengan hujan. Apalagi hujan sederas itu.
Dilihatnya dari kaca beberapa temannya malah asyik menikmati hujan, menggunakan payung berwarna warni menembus hujan. Pakaian mereka sedikit basah, tapi ah... Mereka malah bersenda gurau satu sama lain. Mereka malah tak terpengaruh sedikitpun, hujan atau tidak hujan sama saja. Mereka menjalani aktifitas seperti biasa.
Sebenarnya Shofie penyuka hujan. Apalagi saat dirinya masih berusia sekitar lima atau enam tahunan. Shofie dan teman-temannya sering keluar rumah jika hujan tiba. Bermain di bawah guyuran hujan. Bercengkrama dan tertawa bersama. Hujan selalu membuat hatinya berbunga-bunga.
Hingga akhirnya saat dirinya berusia delapan tahun, saat sekolahnya menginjak kelas dua SD.
Seperti biasa daerah dekat sekolahnya selalu banjir ketika hujan lebat. Banjirnya sih tidak tinggi, hanya sebatas mata kaki. Tapi hari naas itu banjirnya sebatas lutut orang dewasa. Padahal di hari itu, hari ulangtahunnya, ibu Shofie berjanji akan membelikan sebuah kue ultah.
Shofie tak sabar menunggu jam pulang sekolah. Hingga jam dinding di dalam kelasnya menunjukkan pukul dua siang. Sudah waktunya pulang, tapi hujan belum juga berhenti. Padahal ibunya dan dirinya akan memilih kue ulangtahun di toko yang tak jauh dari rumah.
Shofie dan teman-teman yang lain sudah mengemasi buku-buku dan seluruh isi tas. Seorang penjaga sekolah tetiba datang mengetuk pintu, bergegas menemui guru wali kelas yang sedang mengajar. Penjaga sekolah tersebut rupanya memberikan satu kabar yang membuat wajah guru wali kelas langsung berubah menjadi pucat. Guru itu tertunduk lemas.
"Anak-anak mohon perhatian semuanya"kata wali kelas setelah tiga kali dirinya menarik napas panjang. Entah kabar apa yang membuat dirinya begitu syok.
"Shofie.. " wali kelas itu menatap ke arah Shofie, pandangan trenyuh dan kasihan terpancar di wajahnya.
"Baru saja ibu mendengar berita bahwa ibunda Shofie meninggal dunia saat akan menjemput Shofie pulang sekolah."
Shofie tergugu menangis, "Bagaimana ibu bisa meninggal dunia begitu saja? "
"Ibumu tersetrum saat memegang salah satu tiang listrik di jalanan yang banjir. Ibu Guru turut berduka cita ya Nak"
Seisi kelas seakan beku. Bergantian teman sekelas Shofie pun menyampaikan rasa turut berduka cita. Beberapa sahabat terbaiknya memeluk Shofie. Tapi di pikiran Shofie saat itu hanya ingin memastikan bahwa yang meninggal dunia pasti bukan ibunya. Itu mungkin ibu orang lain. Ibunya bukan orang yang ingkar janji. Hari ini ibunya berjanji akan mengajak Shofie memilih kue tart kesukaannya. Ibu pasti akan datang menjemputnya. Pasti.
Kenangan tentang ibunya sepuluh tahun lalu membuat bulu kuduknya bergidik. Shofie hingga kini masih takut dengan hujan. Ia benci hujan yang telah merenggut satu persatu orang yang disayanginya.Â
Bukankah hujan juga yang membuat ayahnya meninggal dunia dalam kecelakaan motor. Hingga saat Shofie dilahirkan Shofie tidak pernah menatap ayahnya. Ayahnya sudah meninggal saat Shofie masih di kandungan ibunya.
Delapan tahun usianya, Shofie resmi menjadi anak yatim piatu, kemudian ibu wali kelasnya saat itu menjadikan dirinya sebagai anak angkat.
"Bukan salahnya hujan. Semua itu sudah takdir Tuhan." kata ibu wali kelasnya yang kini menjadi ibunya.
"Tapi Shofie tetap benci hujan" sahut Shofie mantap. Shofie tidak akan memaafkan hujan. Hujan terlalu banyak menyakiti hatinya. Hujan membuatnya menangis dan menderita.
Biarkan saja orang mencintai dan menunggu hujan. Tapi Shofie tak akan pernah....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H