Shofie tergugu menangis, "Bagaimana ibu bisa meninggal dunia begitu saja? "
"Ibumu tersetrum saat memegang salah satu tiang listrik di jalanan yang banjir. Ibu Guru turut berduka cita ya Nak"
Seisi kelas seakan beku. Bergantian teman sekelas Shofie pun menyampaikan rasa turut berduka cita. Beberapa sahabat terbaiknya memeluk Shofie. Tapi di pikiran Shofie saat itu hanya ingin memastikan bahwa yang meninggal dunia pasti bukan ibunya. Itu mungkin ibu orang lain. Ibunya bukan orang yang ingkar janji. Hari ini ibunya berjanji akan mengajak Shofie memilih kue tart kesukaannya. Ibu pasti akan datang menjemputnya. Pasti.
Kenangan tentang ibunya sepuluh tahun lalu membuat bulu kuduknya bergidik. Shofie hingga kini masih takut dengan hujan. Ia benci hujan yang telah merenggut satu persatu orang yang disayanginya.Â
Bukankah hujan juga yang membuat ayahnya meninggal dunia dalam kecelakaan motor. Hingga saat Shofie dilahirkan Shofie tidak pernah menatap ayahnya. Ayahnya sudah meninggal saat Shofie masih di kandungan ibunya.
Delapan tahun usianya, Shofie resmi menjadi anak yatim piatu, kemudian ibu wali kelasnya saat itu menjadikan dirinya sebagai anak angkat.
"Bukan salahnya hujan. Semua itu sudah takdir Tuhan." kata ibu wali kelasnya yang kini menjadi ibunya.
"Tapi Shofie tetap benci hujan" sahut Shofie mantap. Shofie tidak akan memaafkan hujan. Hujan terlalu banyak menyakiti hatinya. Hujan membuatnya menangis dan menderita.
Biarkan saja orang mencintai dan menunggu hujan. Tapi Shofie tak akan pernah....