Mohon tunggu...
eka sulistia cahya
eka sulistia cahya Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswi

gemar menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Budaya Konsumtif, Dari Lingkungan Sosial Ke Gaya Hidup

17 Desember 2023   23:00 Diperbarui: 17 Desember 2023   23:51 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak kapan kita mulai memahami bahwa uang sebagai alat tukar ternyata memiliki kuasa yang besar dalam hidup? Barangkali sejak kita tahu bahwa untuk mendapat permen merah berbetuk telapak kaki dari sebuah toko kelontong, kita memerlukan selembar kertas dengan tulisan "seribu rupiah" dipojok kanan bawahnya.  

Atau barangkali kita mulai mengetahuinya saat kita perlu memberikan upah seratus ribu rupiah kepada petugas kecamatan untuk memeroleh KTP baru yang sempat hilang, dengan durasi waktu yang cenderung lebih singkat daripada harus melewati prosedur umum melalui disdukcapil. 

Proses dalam memahami kuasa "uang" dalam kehidupan sosial sebagai sesuatu yang menggerakkan dan bahkan mengubah seseorang bukanlah hal yang tabu. Karena pada dasarnya semua yang ada di dunia ini memiliki harga, dan uang barangkali tidak saja dalam bentuk pecahan, koin maupun kartal. Ia bisa apa saja, selagi ia diberi makna untuk dapat dipertukarkan, atas dasar konsensus, maka itulah definisi uang.

Pada sebuah pengantar yang disampaikan oleh Slavoj Zizek, seorang filosofer Slovenian, mengenai konsep dasar masa depan dari budaya kapitalisme, yang kemudian beralih pada istilah budaya konsumerisme, posmoderenisme atau kampanye yang mengarah kepada kepedulian ekologis, dan lain sebagainya. Ia menggambarkan tentang bagaimana pergeseran pemahaman mengenai budaya konsumtif dan konsep charity (sumbangan) yang berubah menjadi perpaduan antara kedua elemen tersebut. Zizek menggambarkan kedua hal tersebut dengan contoh membeli kopi. 

Kita barangkali tidak menyadari, ketika kita sebuah kafe untuk membeli kopi, dengan dalih ingin menyelamatkan bumi dari penggunaan plastik berlebih, kita rela mengeluarkan budget yang lebih besar untuk secangkir kopi yang dikemas dalam kemasan tumblr yang dapat digunakan berulang kali, daripada membeli kopi dengan kemasan plastik yang harganya lebih murah, namun dengan konsekuensi menambah limbah plastik dibumi. Namun, itulah lingkaran proses budaya konsumtif, dimana terkadang kita bahkan tidak keberatan untuk mengeluarkan uang demi membeli barang yang sebenarnya tidak kita butuhkan.

Seringkali kita disadarkan dengan fenomena tersebut ustru bukan dalam kehidupan nyata, melainkan melalui media lain, seperti opini-opini dalam artikel, cerita, novel, hingga film. Jika pernah menonton serial drama netflix yang berjudul Celebrity, kita akan dapat melihat bagaimana budaya konsumtif sangat tampak dari adegan-adegan yang diceritakan. Pola hidup hedonisme yang tergambar sangat mencerminkan bagaimana sebuah kelas sosial tertentu dapat memengaruhi dan membentuk pola konsumtif seorang individu. Rasa takut ketinggalan atau sering disebut FOMO (Fear of Missing Out) menjadi salah satu aspek mengapa orang berlomba-lomba untuk tetap mengikuti gaya hidup, yang bahkan tidak sesuai dengan kapasitas dompetnya. Mereka yang terlibat hanya ingin pengakuan bahwa mereka juga bisa memasuki kelas sosial tersebut, meski pada kenyataannya mereka hanya memaksakan untuk masuk ke dalam lingkaran kelas sosial yang tidak sesuai dengan kapasitas dirinya, dan justru menjerumuskannya ke dalam upaya-upaya kriminal, misal memanipulasi, berbohong, berhutang, bahkan hingga mencuri.

Dalam konsep lain yang juga dikemukakan oleh Zizek adalah kekuatan bahasa yang dominan dan dapat menjadi simbol kekerasan. Sebagai simbol kekerasan, bukan berarti bahasa itu bersifat merusak secara langsung, melainkan melalui alam bawah sadar manusia yang tidak secara sadar telah mengarahkannya pada jalur tertentu dalam menerima dan mengolah sebuah informasi. Dalam kasus budaya yang konsumtif, kelompok orang yang berada dalam usia produktif, memiliki tendensi untuk mengikuti gaya hidup tertentu sesuai lingkungan. Kembali mengambil contoh kopi, melalui bahasa yang dituliskan pada iklan promo di layar saat masuk ke dalam coffee shop, atau melalui tuturan dari bagian kasir akan dapat memengaruhi penilaian dan juga pengambilan keputusan konsumen dalam membeli sebuah produk. Meski ada faktor lain yang juga berpengaruh, misalnya dari cara penyampaian dan keramahan pegawai coffee shop itu sendiri terhadap konsumen, tetap saja bahasa menjadi aspek dominan dalam memengaruhi keputusan akhir yang akan diambil oleh konsumen. 

Saat konsumen memilih untuk membeli kopi ukuran medium, kemudian dengan sigap sang pegawai menawarkan ukuran grande yang harganya lebih mahal dengan sisipan kalimat "dengan membeli kopi ukuran grande, Anda telah berdonasi dan berkontribusi untuk pendidikan anak di pedalaman", dengan berpikir bahwa mengeluarkan uang lebih saat membeli ukuran grande berarti sama dengan berdonasi, konsumen akan terpengaruh dan memutuskan untuk upgrade dari medium ke grande. Dengan demikian, tergambarlah kekuatan bahasa yang dominan.

Maraknya kedai-kedai kopi yang mengusung tema "estetik", menjadi tempat pangkalan anak muda saat ini, mulai dari sebagai working-space, tempat berkumpul bersama kawan-kawan, hingga sekadar mengambil gambar untuk menambah koleksi feed/story instagram. Penilaian baik atau buruknya suatu barang maupun tempat saat ini tidak lagi susah untuk ditemukan. 

Cukup dengan membuka internet, dan mencari kolom ulasan, atau komentar, kita sudah dapat menilai sesuatu bahkan sebelum melihat atau mengunjungi tempatnya secara langsung. Disinilah peran bahasa sebagai simbol kekerasan itu bekerja. Kita dapat melihat bagiamana orang-orang berargumen, mungkin tentang rasa kopi, pelayanan, atau bahkan akses ke tempat itu yang cukup sulit, sehingga membuat calon pengunjung mengurungkan niatnya untuk berkunjung ke tempat itu. Pengaruh bahasa menjadi krusial dan kembali lagi memengaruhi keputusan seseorang.

Budaya konsumtif sejatinya tidak hanya tersentralisasi pada kota-kota besar, tapi sudah merambah pada hampir setiap ibukota provinsi di Indonesia. Kebutuhan pokok bergeser dari yang sekadar sandang, pangan, dan papan, kini bertambah dengan segelas kopi gula aren. Timbal-balik kapitalisme-konsumerisme terus bergulir setiap hari. 

Berangkat pagi ke kantor untuk menghasilkan uang, malamnya menghabiskan waktu untuk nongkrong bersama teman-teman dengan secangkir kopi dan sebungkus rokok. Hidup tidak lagi sesederhana seperti dalam serial Si Doel Anak Sekolahan, yang paginya nikmat diisi dengan minum satu mug kopi panas buatan anak atau istri sambil mendengar ciutan burung. Kini segelas kopi dan teman nongkrong menjadi kebutuhan. 

Butuh atau tidak, bukan lagi jadi soal. Yang terpenting adalah manusia merasakan dirinya masuk ke dalam lingkungan sosial yang dianggapnya sesuai dengan kapasitas dirinya saat ini, yang sudah memiliki penghasilan untuk dibelanjakan sebagai hasil kerja keras yang kemudian banyak disebut sebagai "self-reward".

Penghargaan terhadap diri yang telah bekerja keras atau dikenal dalam masyarakat sebagai self-reward sering digunakan sebagai dalih untuk mengeluarkan uang kepada hal-hal tertentu, semisal membeli barang atau makanan yang diinginkan. Tentu saja gagasan self-reward juga turut melanggengkan budaya konsumtif utamanya pada usia produktif. Tidak sedikit orang yang setelah melakukan self-reward ini merasa menyesal karena telah mengeluarkan uang pada hal-hal yang tidak diperlukan. Kenikmatan sesaat ini banyak disadari tetapi tetap bergulir menjadi kebiasaan dan gaya hidup. Bagaimana tidak, dalam era teknologi saat ini, segala sesuatunya dipermudah. Ingin membeli pakaian tidak lagi harus ke toko atau mall, ingin membeli makanan tidak lagi perlu ke rumah makannya langsung, tidak punya uang tunai, membayar dengan transfer pun sudah bisa. Di tengah kemudahan inilah manusia menjadi terlena, uang terasa lebih cepat habis terkuras tanpa ingat kemana perginya.

Satu hal lain yang juga memperkuat posisi budaya konsumtif adalah iming-iming promo yang ditawarkan oleh penjual kepada pembeli. Potongan harga, penawaran menarik "beli satu gratis satu", atau "beli dua bayar satu", tentu sangat menggoda iman para pebelanja. Saking menariknya, kita yang hanya membutuhkan satu barang, berubah menjadi membeli dua dengan asumsi bahwa yang satunya lagi bisa kita simpan untuk nanti. 

Belum lagi promo e-commerce yang hampir setiap hari dihadirkan, mulai dari diskon live streaming penjualan produk hingga potongan harga besar-besaran pada tanggal tertentu setiap bulan yang semakin memungkinkan orang-orang untuk tidak segan mengeluarkan uang dengan alasan "mumpung sedang ada promo". Jika barangnya benar dibutuhkan, maka ini adalah sebuah kesempatan yang baik untuk dapat melakukan penghematan, namun bagaimana jika tidak? Maka sudah tentu akan terjadi pemborosan.

Pertalian antara budaya konsumtif, kapitalisme serta kelas sosial menjadi semakin jelas. Manusia bekerja untuk memenuhi kebutuhannya, pada tataran kelas sosial tertentu ia akan beradaptasi dan mengikuti arus kebutuhan pada kelas tersebut, keduanya kemudian bergabung membentuk sebuah budaya, yang jika tidak hati-hati akan menjadi keseharian dan kita sebut sebagai budaya konsumtif. Seseorang menjadi lebih konsumtif ketika diberi kemudahan. 

Kemdudahan yang berasal dari hasrat diri sendiri sebagai bentuk self-reward, maupun kemudahan dari segi akses untuk membeli sesuatu dan penawaran menarik berupa potongan harga dan promo. Tentu saja segala kemudahan itu tidak dapat dilepaskan dari peran bahasa sebagai salah satu media dalam menyampaikan informasi. Apa yang disampaikan melalui bahasa menjadi jembatan bagi seseorang untuk mengambil keputusan. Bahasa dalam hal ini tidak hanya berupa tulisan, ia dapat berupa gambar yang tercermin dalam poster untuk menarik perhatian pelanggan.

Budaya konsumtif tidak dapt dilepaskan dari gaya hidup. Karena ketika sesuatu menjadi sebuah budaya, maka ia hidup dan menetap dalam kehidupan sehari-hari. Menjadi bagian yang tidak terlepas dari cara menjalani hidup. Menjadi konsumtif tidak hanya tercermin dengan secara frontal membeli barang atau hal-hal yang tidak dibutuhkan, tetapi lebih luas lagi, konsumtif juga bisa berbentuk pemikiran yang terpengaruh seperti dalam konsep charity. Kita ingin berbuat lebih dengan mengeluarkan lebih. Padahal, kita mungkin bisa saja tidak membeli kopi dan langsung melakukan donasi atau memberi sumbangan secara langsung sesuai dengan nominal kopi itu jika kita memang ingin berdonasi. 

Namun bukan berarti bahwa budaya konsumtif tidak bisa dilawan. Seseorang dapat melawan budaya konsumtif salah satunya dengan menerapkan gaya hidup frugal, atau sering disebut frugal living. Konsep tersebut benar-benar menerapkan kebutuhan diatas keinginan. Mirip dengan konsep berhemat, namun frugal living lebih mengarah pada nilai guna sebuah barang, dimana konsep berpikirnya ialah, tidak mengapa membeli barang yang sedikit lebih mahal, asalkan jangka waktu penggunaannya bisa lebih lama daripada membeli barang yang lebih murah. 

Atau hal lain, daripada membeli kopi di coffee shop, penganut frugal living dapat membeli mesin kopi dan membeli kopi bubuk untuk dibuat sendiri di rumah. Rasionalisasi itulah yang dibangun dari frugal living. Meskipun tidak semua orang dapat menyadari budaya konsumtif ini sedang merebak, dan tentu tidak mudah untuk melawannya dan berubah dalam waktu semalam, namun konsep frugal living tetap patut untuk dicoba dan diperkenalkan kepada orang-orang di usia produktif untuk mendapat gambaran tentang perekonomian saat ini dan mengantisipasi dirinya dari perbuatan yang sia-sia dengan mengeluarkan uang pada hal yang tidak dibutuhkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun