Mohon tunggu...
eka sulistia cahya
eka sulistia cahya Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswi

gemar menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Budaya Konsumtif, Dari Lingkungan Sosial Ke Gaya Hidup

17 Desember 2023   23:00 Diperbarui: 17 Desember 2023   23:51 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berangkat pagi ke kantor untuk menghasilkan uang, malamnya menghabiskan waktu untuk nongkrong bersama teman-teman dengan secangkir kopi dan sebungkus rokok. Hidup tidak lagi sesederhana seperti dalam serial Si Doel Anak Sekolahan, yang paginya nikmat diisi dengan minum satu mug kopi panas buatan anak atau istri sambil mendengar ciutan burung. Kini segelas kopi dan teman nongkrong menjadi kebutuhan. 

Butuh atau tidak, bukan lagi jadi soal. Yang terpenting adalah manusia merasakan dirinya masuk ke dalam lingkungan sosial yang dianggapnya sesuai dengan kapasitas dirinya saat ini, yang sudah memiliki penghasilan untuk dibelanjakan sebagai hasil kerja keras yang kemudian banyak disebut sebagai "self-reward".

Penghargaan terhadap diri yang telah bekerja keras atau dikenal dalam masyarakat sebagai self-reward sering digunakan sebagai dalih untuk mengeluarkan uang kepada hal-hal tertentu, semisal membeli barang atau makanan yang diinginkan. Tentu saja gagasan self-reward juga turut melanggengkan budaya konsumtif utamanya pada usia produktif. Tidak sedikit orang yang setelah melakukan self-reward ini merasa menyesal karena telah mengeluarkan uang pada hal-hal yang tidak diperlukan. Kenikmatan sesaat ini banyak disadari tetapi tetap bergulir menjadi kebiasaan dan gaya hidup. Bagaimana tidak, dalam era teknologi saat ini, segala sesuatunya dipermudah. Ingin membeli pakaian tidak lagi harus ke toko atau mall, ingin membeli makanan tidak lagi perlu ke rumah makannya langsung, tidak punya uang tunai, membayar dengan transfer pun sudah bisa. Di tengah kemudahan inilah manusia menjadi terlena, uang terasa lebih cepat habis terkuras tanpa ingat kemana perginya.

Satu hal lain yang juga memperkuat posisi budaya konsumtif adalah iming-iming promo yang ditawarkan oleh penjual kepada pembeli. Potongan harga, penawaran menarik "beli satu gratis satu", atau "beli dua bayar satu", tentu sangat menggoda iman para pebelanja. Saking menariknya, kita yang hanya membutuhkan satu barang, berubah menjadi membeli dua dengan asumsi bahwa yang satunya lagi bisa kita simpan untuk nanti. 

Belum lagi promo e-commerce yang hampir setiap hari dihadirkan, mulai dari diskon live streaming penjualan produk hingga potongan harga besar-besaran pada tanggal tertentu setiap bulan yang semakin memungkinkan orang-orang untuk tidak segan mengeluarkan uang dengan alasan "mumpung sedang ada promo". Jika barangnya benar dibutuhkan, maka ini adalah sebuah kesempatan yang baik untuk dapat melakukan penghematan, namun bagaimana jika tidak? Maka sudah tentu akan terjadi pemborosan.

Pertalian antara budaya konsumtif, kapitalisme serta kelas sosial menjadi semakin jelas. Manusia bekerja untuk memenuhi kebutuhannya, pada tataran kelas sosial tertentu ia akan beradaptasi dan mengikuti arus kebutuhan pada kelas tersebut, keduanya kemudian bergabung membentuk sebuah budaya, yang jika tidak hati-hati akan menjadi keseharian dan kita sebut sebagai budaya konsumtif. Seseorang menjadi lebih konsumtif ketika diberi kemudahan. 

Kemdudahan yang berasal dari hasrat diri sendiri sebagai bentuk self-reward, maupun kemudahan dari segi akses untuk membeli sesuatu dan penawaran menarik berupa potongan harga dan promo. Tentu saja segala kemudahan itu tidak dapat dilepaskan dari peran bahasa sebagai salah satu media dalam menyampaikan informasi. Apa yang disampaikan melalui bahasa menjadi jembatan bagi seseorang untuk mengambil keputusan. Bahasa dalam hal ini tidak hanya berupa tulisan, ia dapat berupa gambar yang tercermin dalam poster untuk menarik perhatian pelanggan.

Budaya konsumtif tidak dapt dilepaskan dari gaya hidup. Karena ketika sesuatu menjadi sebuah budaya, maka ia hidup dan menetap dalam kehidupan sehari-hari. Menjadi bagian yang tidak terlepas dari cara menjalani hidup. Menjadi konsumtif tidak hanya tercermin dengan secara frontal membeli barang atau hal-hal yang tidak dibutuhkan, tetapi lebih luas lagi, konsumtif juga bisa berbentuk pemikiran yang terpengaruh seperti dalam konsep charity. Kita ingin berbuat lebih dengan mengeluarkan lebih. Padahal, kita mungkin bisa saja tidak membeli kopi dan langsung melakukan donasi atau memberi sumbangan secara langsung sesuai dengan nominal kopi itu jika kita memang ingin berdonasi. 

Namun bukan berarti bahwa budaya konsumtif tidak bisa dilawan. Seseorang dapat melawan budaya konsumtif salah satunya dengan menerapkan gaya hidup frugal, atau sering disebut frugal living. Konsep tersebut benar-benar menerapkan kebutuhan diatas keinginan. Mirip dengan konsep berhemat, namun frugal living lebih mengarah pada nilai guna sebuah barang, dimana konsep berpikirnya ialah, tidak mengapa membeli barang yang sedikit lebih mahal, asalkan jangka waktu penggunaannya bisa lebih lama daripada membeli barang yang lebih murah. 

Atau hal lain, daripada membeli kopi di coffee shop, penganut frugal living dapat membeli mesin kopi dan membeli kopi bubuk untuk dibuat sendiri di rumah. Rasionalisasi itulah yang dibangun dari frugal living. Meskipun tidak semua orang dapat menyadari budaya konsumtif ini sedang merebak, dan tentu tidak mudah untuk melawannya dan berubah dalam waktu semalam, namun konsep frugal living tetap patut untuk dicoba dan diperkenalkan kepada orang-orang di usia produktif untuk mendapat gambaran tentang perekonomian saat ini dan mengantisipasi dirinya dari perbuatan yang sia-sia dengan mengeluarkan uang pada hal yang tidak dibutuhkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun