Mohon tunggu...
Eka Soleha
Eka Soleha Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Mahasiswa Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Tradisi Rebo Bontong di Bulan Syafar

10 Juni 2024   14:04 Diperbarui: 10 Juni 2024   14:14 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya dan tradisi. Dari Sabang hingga Merauke, terdapat berbagai macam tradisi yang unik dan menarik. Salah satu pulaunya yang memiliki tradisi unik yang di percayai menolak bala' dan penyakit yakni tradisi Rabo Bontong di Pulau Lombok.

Pulau Lombok merupakan salah satu pulau yang ada di wilayah provinsi Nusa Tenggara Barat. Keindahan akan alamnya di pulau Lombok merupakan salah satu anugerah dari tuhan. Di keindahan alamnya saat ini, di pulau Lombok juga tersimpan kekayaan budaya yang dijaga dan dilestarikan oleh masyarakatnya. 

Kekayaan budaya dan tradisi yang masih di lestarikan hingga saat ini oleh masyarakat salah satunya adalah tradisi Rebo Bontong. Beberapa masyarakat di Lombok masih melestarikan tradisi ini. Rebo Bontong, yang berarti "Rabu Terakhir", merupakan tradisi tahunan masyarakat Suku Sasak di Lombok yang dirayakan pada hari Rabu terakhir di bulan Safar dalam penanggalan Islam. Tradisi ini telah diwariskan secara turun-temurun dan memiliki makna penting dalam budaya dan kepercayaan masyarakat Suku Sasak. 

Rebo Bontong diperingati sebagai hari untuk membersihkan diri dari segala kotoran, baik fisik maupun spiritual. Masyarakat Suku Sasak percaya bahwa pada hari itu, banyak bala bencana dan penyakit yang akan turun ke bumi. Oleh karena itu, mereka melakukan berbagai ritual untuk menolak bala dan memohon keselamatan.

Salah satu desa yang masih melestarikan tradisi Rebo Bontong yakni Desa Sayang-sayang tepatnya di lingkungan Rungkang Jangkuk. Tradisi Rebo Bontong di desa Sayang-sayang ini merupakan ritual mandi di Kali Jangkuk yang terletak di Lingkungan Rungkang Jangkuk untuk membersihkan diri dari penyakit dan memohon berkah untuk bulan Maulid.

Rebo Bontong memiliki sejarah panjang yang diyakini telah dilakukan sejak zaman leluhur masyarakat Desa Sayang-Sayang. Tradisi ini dikaitkan dengan kisah Nabi Muhammad SAW yang dihindarkan dari penyakit cacar air pada bulan Safar. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, mandi di Kali Jangkuk pada Rebo Bontong dapat membersihkan diri dari berbagai penyakit, baik fisik maupun spiritual. Air di kali tersebut dipercaya memiliki kekuatan magis untuk menangkal penyakit dan membawa keberuntungan.

Prosesi Ritual pada pagi hari Rebo Bontong, masyarakat Desa Sayang-Sayang, tua dan muda, berduyun-duyun menuju Kali Jangkuk. Mereka membawa berbagai perlengkapan mandi, seperti sabun, sampo, dan handuk. Sedangkan ibu-ibunya memasak untuk dimakan bersama di acara tersebut.

Sebelum mandi, mereka biasanya melakukan ritual terlebih dahulu, seperti membaca doa dan memanjatkan harapan di pinggir kali. Kemudian, mereka mulai mandi dengan air kali, menggosok seluruh tubuh mereka dengan sabun dan sampo.

Beberapa orang bahkan meminum air kali tersebut, dengan keyakinan bahwa air itu dapat menyembuhkan penyakit. Setelah mandi, mereka biasanya bersilaturahmi dengan sesama warga desa dan menikmati hidangan yang telah mereka bawa dari rumah. Di tempat acara Rabu Bontong juga disediakan hiburan seperti orkes. Orkes tersebut digunakan untuk menghibur warga yang menonton ataupun yang sedang mandi di pinggir sungai.

Meskipun zaman terus berkembang, tradisi Rebo Bontong masih dilestarikan oleh masyarakat Desa Sayang-Sayang. Tradisi ini menjadi bagian penting dari budaya dan identitas mereka. Selain sebagai ritual pembersihan diri, Rebo Bontong juga menjadi momen untuk mempererat tali persaudaraan antar warga desa. Tradisi ini juga menjadi pengingat bagi masyarakat untuk selalu menjaga kebersihan lingkungan dan kelestarian alam.

Upaya pelestarian tradisi Rebo Bontong terus dilakukan oleh berbagai pihak, termasuk pemerintah desa, tokoh agama, dan tokoh adat. Tradisi ini juga dipromosikan sebagai salah satu daya tarik wisata budaya di Desa Sayang-Sayang. Dengan berbagai upaya pelestarian tersebut, diharapkan tradisi Rebo Bontong akan terus dilestarikan dan menjadi warisan budaya yang berharga bagi generasi mendatang.

Lebih dari sekadar tradisi mandi, Rebo Bontong menyimpan makna mendalam yang diyakini mampu tolak bala dan mendatangkan keselamatan bagi masyarakat. Tradisi ini menjadi cerminan kearifan lokal dan ketaatan masyarakat terhadap ajaran leluhur, serta memperkuat rasa persatuan dan kebersamaan di lingkungan Rungkang Jangkuk.

Menurut salah satu tokoh agama di Lingkungan Rungkang Jangkuk, Kota Mataram, Ahmad Syamsul Rizal, ritual "Rebo Bontong" telah menjadi agenda tahunan warga setempat yang dilaksanakan setiap hari Rabu terakhir di bulan Safar. Ritual ini sekaligus menandai berakhirnya bulan Safar dan menyambut datangnya bulan Maulid. 

Menurut Ahamd Syamsul Rizal, ritual mandi bersama pada perayaan "Rebo Bontong" merupakan tradisi yang dilaksanakan secara turun-temurun dan dilakukan sejak ratusan tahun silam. Ritual ini diniatkan untuk menyucikan badan demi menyambut perayaan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW. Masyarakat percaya, barang siapa yang mandi di Rabu terakhir bulan Safar, maka akan menghilangkan sakit selama satu tahun ke depan. Menurut Syamsul, dengan mandi di sungai, maka silaturahmi antar warga semakin terjalin erat. 

Bagi salah satu warga masyarakat Rungkang Jangkuk yakni Jumisah tradisi Rebo Bontong menjadi suatu hal yang berkesan baginya. Di setiap hari acara perayaan Rabo Bontong tersebut ia beserta keluarganya wajib berkumpul untuk ikut mandi bersama di kali. 

Dengan adanya perayaan tradisi ini ia masih bisa bersilaturahmi kepada warga masyarakat yang jarang terlihat. Jumisah berharap tradisi ini akan terus dilestarikan untuk kedepannya. 

Dengan adanya tradisi Rebo Bontong ini bisa mempererat tali silaturahmi dengan berkumpul, mandi dan makan bersama. Jadi mari kita sebagai anak muda melestarikan tradisi-tradisi yang masih ada, tradisi perlu dilestarikan di tengah modernisasi dan globalisasi agar tidak hilang dan hannya menjadi cerita belaka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun