Raja terakhir penentu kelulusan perkuliahan kini mesti turun tahta. Hal ini sejalan dengan kebijakan baru yang disampaikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, bahwa skripsi tidak wajib. Skirpsi tidak lagi menjadi syarat kelulusan.
Sontak, kabar ini menjadi kabar gembira bagi mahasiswa. Pasalnya, ada ragam dan pilihan cara untuk meraih gelar sarjana tanpa adanya lika-liku drama perskripsian.
Sayangnya, kebijakan ini tidak bersifat mutlak dan dikembalikan lagi pada pihak kampus. Tiap jurusan dan kepala program studi berhak untuk menentukan tugas akhir yang lebih relevan dengan program studinya.Â
Kebijakan ini pun akhirnya menimbulkan pro-dan kontra bagi mahasiswa, dosen, universitas, hingga masyarakat.Â
Lantas, bagaimana sih esensinya skripsi dalam 4 lini kehidupan ini?
Mengapa Sulit Menuntaskan Skripsi? Tidak Wajib, Akankah Lebih Mudah Jadi Sarjana?
Sebuah kebanggan bagi mahasiswa bisa lulus tepat waktu. Predikat sangat hebat jika mampu lulus dalam jangka waktu 3 setengah tahun. Meskipun banyak yang demikian, sepertinya mahasiswa veteran jumlahnya jauh lebih banyak.
Bahkan, banyak yang rela drop out karena tidak mampu menuntaskan skripsi. Fenomena ini, mungkin yang jadi pertimbangan mengapa skripsi kini tidak lagi menjadi penentu kelulusan.Â
Ada beberapa faktor yang menyebabkan skripsi sulit sekali dituntaskan. Pertama, mulai dari mahasiswa yang tidak memahami apa yang seharusnya diteliti, sulitnya berdiskusi dengan dosen pembimbing, hingga masalah internal dalam kehidupannya.
Alhasil, skirpsinya terbengkalai dan mahasiswa itu menjadi mahasiswa veteran bahkan drop out. Selain itu, meskipun berkuliah di universitas negeri biayanya jauh lebih terjangkau biaya seperti print draft skripsi dan lain-lain mesti ditanggung mandiri.