Siapa yang mengira akhir-akhir ini Jakarta diselimuti kabut? Ternyata, kumpulan benda putih yang melayang di udara tersebut adalah polutan yang sangat berbahaya bagi kesehatan.
Mengutip dari laman KOMPAS.com, per Minggu (13/08/2023), indeks kualitas udara Jakarta mencapai 172, dengan polutan utama PM 2,5 serta konsentrasinya 96,8 mikrogram permeter kubik.Â
Tingginya angka pencemaran udara ini menimbulkan ragam gejala bagi mereka yang memiliki sensitivitas tinggi. Misalnya, pada orang dengan riwayat rhinitis alergi seperti saya. Pencemaran udara ini memicu gejala seperti bersin berulang, mata merah, hingga kulit yang terasa gatal.
Apalagi pada beberapa hari lalu, saya perlu bolak-balik Jakarta Barat-Jakarta Timur untuk memenuhi pemberkasan Yudisium. Berjalan menggunakan sepeda motor sungguh terasa sekali dampaknya.Â
Selain itu, bagi Anda yang merasakan gejala seperti batuk dan pilek bahkan sesak. Ini jadi bukti bahwa kualitas udara kita memang perlu untuk segera dicarikan solusi permasalahannya.Â
Imbauan WFH, Kendaraan Listrik, hingga Moda Transportasi Umum, akankah jadi solusinya?
Dampak jangka pendek terutama pada orang dengan riwayat rhinitis alergi, kualitas udara yang memburuk hanya menimbulkan bersin, mata merah, gatal, dan gangguan saluran pernapasan.
Pertanyaan, hingga kapan kondisi ini harus dimaklumi? Padahal bahaya besar jauh mengintai. Misalnya, mengutip dari KOMPAS.com, menurut pernyataan Prof. Agus Dwi Susanto pakar pulmonologi dan respirasi Universitas Indonesia, setiap peningkatan 10 mikrogram akan meningkatkan risiko serangan jantung sebesar 4,5%.
Tentunya, ini jadi PR bersama yang perlu dicarikan solusinya. Misalnya, Kementrain Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (KLHK) mengajukan imbuan untuk WFH yang diserahkan kepada para pengusaha.
Bekerja dari rumah jadi pilihan, dengan harapan mampu meredam asap kendaraan. Sehingga, emisi karbon yang dikeluarkan diharapkan jauh lebih sedikit.