Mohon tunggu...
Eka Sarmila
Eka Sarmila Mohon Tunggu... Mahasiswa - Long Life Learner

Halo! Perkenalkan saya Eka. Menulis adalah cara saya untuk bertukar cerita kepada orang lain pada jangkauan yang lebih luas.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Fenomena Kritik Pejabat Publik di Media Sosial: Jurus Jitu Cepat Dapat Tanggapan, Awas Kena Hukum Pidana

17 April 2023   15:32 Diperbarui: 17 April 2023   18:44 1197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto. Tiktok Awbimaxreborn dikutip dari kompas.com

Sejak mencuatnya kasus kekerasan anak ditjen pajak Mario Dandy, pejabat publik pun ikut ketar ketir kena getahnya. Netizen pun makin pintar dan jeli untuk mengawasi trend dan gaya hidup aparatur sipil negara. 

Apalagi sejak muncul statement dari  wakil ketua KPK Alexander Marwata yang dikutip dari kompas.com, bahwa KPK meminta bantuan netizen untuk memviralkan kekayaan tak wajar para pejabat yang tak masuk akal. 

Alhasil banyak video viral yang menarik nama pejabat terkait yang diungkap oleh netizen di media sosial. Misalnya, pada kasus flexing barang mewah yang dilakukan oleh anak dan istri dari Sekda Riau. 

Netizen pun mempertanyakan, bagaimana cara membeli barang mewah yang dipamerkan? Apakah dengan gaji menjadi seorang sekda mampu memenuhi kebutuhan tersier tersebut?

Klarifikasi pun muncul, dijelaskan bahwa barang-barang yang dipamerkan adalah tiruan alias kw dan dibeli di Pasar Mangga Dua. Klaimnya pun barang-barang yang dipamerkan hanya berkisar diharga 2-5 juta rupiah saja. 

Namun, netizen tetap tidak bisa percaya begitu saja. Apa iya di Pasar Mangga Dua kini menjual barang-barang mewah? 

Trend Demonstrasi Di Media Sosial, Solusi Mengatasi Masalah Supaya Cepat Ditanggapi

Foto Freepik.com
Foto Freepik.com
Fenomena kritik pejabat publik di media sosial pun kian dilirik. Pasalnya, tiap tagarnya naik dan viral pejabat  publik yang terduga punya kekayaan tak wajar bakal jadi sorotan dan bulan-bulanan netizen. 

Netizen seolah bersatu padu untuk mengungkap kebenaran. Herannya, informasi sekecil mungkin kok mudah sekali untuk didapatkan. Netizen menjelma bak badan intelegensi negara yang kemudian memviralkan kejanggalan yang didapatkan.

Segala yang viral pun lebih cepat untuk dikalrifikasi dan mendapat jawaban. Misalnya, pada kasus yang tengah viral saat ini. Sebuah video tik tok yang diunggah oleh akun bernama awbimax reborn menyampaikan keluh kesahnya mengapa provinsi lampung tidak maju-maju.

Foto. Tiktok Awbimaxreborn dikutip dari kompas.com
Foto. Tiktok Awbimaxreborn dikutip dari kompas.com

Dalam videonya, dijelaskan bahwa ada beberapa alasan utama mengapa provinsi lampung tidak maju-maju diantaranya pembangunan infrastruktur yang mangkrak, jalan-jalan yang rusak, sistem pendidikan yang lemah, tata kelola yang lemah, dan ketergantungan pada sektor pertanian. 

Keresahan ini kemudian mendapatkan ragam tanggapan dari berbagai pihak. Pihak yang setuju pun ikut memposting keadaan yang telah disebutkan dalam video tersebut. Sontak, muncul pertanyaan kok bisa? 

Sayangnya, mengutip dari kompas.com kritikan ini justru berujung pada dilaporkannya bima ke Kepolisian Daerah (Polda) Lampung oleh seorang Advokat Gindha Ansori. Menurutnya, kritik tersebut dinilai menyudutkan dan memperburuk citra Provinsi Lampung. 

Hal ini memperkuat dan jadi bukti konkrit bahwa yang segalanya viral akan segera diproses. Namun, apakah benar kritik yang disampaikan telah mencoreng dan menyudutkan pihak lain?

Mempertanyakan Hak Kebebasan Berpendapat, Awas Terpelintir Undang-Undang ITE

Foto. Karlyukav dari freepik.com
Foto. Karlyukav dari freepik.com
Pelaporan yang dilayangkan ini justru membuat publik makin kecewa. Alhasil, pemerintah setempat dianggap anti kritik. Banyak pihak yang justru balik mempertanyakan atas dasar hukum apa perilaku ini kemudian dipidanakan?

Sedangkan undang-undang sendiri menjamin kebebasan mengemukakan pendapat yang diatur dalam pasal 28. Di mana setiap warga negara berhak berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat melalui lisan dan tulisan. 

Jika dikatakan mengandung ujaran kebencian, rasanya dalam tayangan video tersebut tidak disebutkan ajakan untuk membenci ataupun memboikot suatu kelompok. 

Tidak ada ajakan untuk mengucilkan, hanya sebuah paparan yang berisi alasan mengapa provinsi lampung tidak maju-maju. Kritik yang disampaikan pun tidak menyebutkan secara spesifik siapa pelaku utama yang membuat provinsi ini tidak maju-maju. 

Apalagi, statement ini pun diperkuat dengan berbagai video unggahan lain dari warganet yang merasakan hal yang sama. Lantas, pihak mana yang merasa dirugikan? Bentuk kritik seperti apa yang bisa dikatakan "sopan dan membangun". 

Saya pribadi bukanlah pemerhati hukum. Namun, jika dilihat dari isi undang-undang ITE (informasi dan transaksi elektornik), UU ini meliputi aturan tentang penyebaran video asusila, judi online, pencemaran nama baik, pemerasan dan pengancaman, berita bohong, ujaran kebencian, dan teror online. 

Kira-kira kalau memang benar bersalah, pasal mana dalam UU ITE yang bisa menjeratnya? Hal ini pun bikin publik makin gaduh dan adu lapor di media sosial. 

Dari fenomena ini, ada poin menarik yang sebenarnya didapatkan dari aksi lapor di media sosial. Aksi ini juga lebih mudah menjangkau banyak aspirasi. Pihak-pihak yang turut merasakan dampak lebih mudah menyuarakan keluh kesah tanpa batasan ruang dan waktu yang tentunya memakan lebih banyak biaya. 

Alhasil, mungkin suatu saat anggaran dana aspirasi yang dikucurkan untuk anggota dewan perwakilan rakyat dapat dikurangi. Toh, buktinya hanya dengan satu platform saja kita sudah mampu mengumpulkan keresahan masyarakat dari sabang sampai merauke. 

Hanya dalam hitungan hari bahkan jam, suara dari pelosok pun bisa terkumpulkan. 

Kritik di media sosial juga cenderung lebih ramah dan tidak menimbulkan korban jiwa. Pasalnya, adu kritik yang diberikan bukan berbentuk adu otot. Melainkan adu pemikiran lewat aspirasi yang diberikan.

Sungguh disayangkan kalau memang aksi ini justru nantinya bisa terpelintir oleh undang-undang ITE. Perlu ada batasan dan aturan yang lebih tegas tentang penyampaian kritik di muka umum yang dilindungi undang-undang dan yang mengganggu ketertiban umum. 

Apalagi negara sendiri melindungi setiap orang untuk mengemukakan pendapat di muka umum. Ada baiknya, sebelum melakukan pelaporan kepada pihak terkait dilakukan diskusi terbuka mengapa bisa statement tersebut sampai muncul. 

Apakah hanya opini belaka atau memang fakta yang mesti dicarikan solusinya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun