Saya pribadi bukanlah pemerhati hukum. Namun, jika dilihat dari isi undang-undang ITEÂ (informasi dan transaksi elektornik), UU ini meliputi aturan tentang penyebaran video asusila, judi online, pencemaran nama baik, pemerasan dan pengancaman, berita bohong, ujaran kebencian, dan teror online.Â
Kira-kira kalau memang benar bersalah, pasal mana dalam UU ITE yang bisa menjeratnya? Hal ini pun bikin publik makin gaduh dan adu lapor di media sosial.Â
Dari fenomena ini, ada poin menarik yang sebenarnya didapatkan dari aksi lapor di media sosial. Aksi ini juga lebih mudah menjangkau banyak aspirasi. Pihak-pihak yang turut merasakan dampak lebih mudah menyuarakan keluh kesah tanpa batasan ruang dan waktu yang tentunya memakan lebih banyak biaya.Â
Alhasil, mungkin suatu saat anggaran dana aspirasi yang dikucurkan untuk anggota dewan perwakilan rakyat dapat dikurangi. Toh, buktinya hanya dengan satu platform saja kita sudah mampu mengumpulkan keresahan masyarakat dari sabang sampai merauke.Â
Hanya dalam hitungan hari bahkan jam, suara dari pelosok pun bisa terkumpulkan.Â
Kritik di media sosial juga cenderung lebih ramah dan tidak menimbulkan korban jiwa. Pasalnya, adu kritik yang diberikan bukan berbentuk adu otot. Melainkan adu pemikiran lewat aspirasi yang diberikan.
Sungguh disayangkan kalau memang aksi ini justru nantinya bisa terpelintir oleh undang-undang ITE. Perlu ada batasan dan aturan yang lebih tegas tentang penyampaian kritik di muka umum yang dilindungi undang-undang dan yang mengganggu ketertiban umum.Â
Apalagi negara sendiri melindungi setiap orang untuk mengemukakan pendapat di muka umum. Ada baiknya, sebelum melakukan pelaporan kepada pihak terkait dilakukan diskusi terbuka mengapa bisa statement tersebut sampai muncul.Â
Apakah hanya opini belaka atau memang fakta yang mesti dicarikan solusinya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H