Diperingati setiap tanggal 24 Maret, Tuberkulosis (TBC) masih menjadi PR besar masalah kesehatan di Indonesia. Pasalnya, terjadi peningkatan kasus infeksi tuberkulosis (TBC) Â dari tahun 2020 hingga 2021.Â
Mengutip dari kompas.id terjadi lonjakan kasus infeksi dari 824.000 kasus (2020) menjadi 969.000 kasus (2021). Hal ini membuat Indonesia naik 1 peringkat dari posisi 3 menjadi posisi 2 dunia. Â
Meskipun, pengobatanya telah dijamin oleh pemerintah guna mencapai indonesia sehat bebas TBC nyatanya masih banyak pasien yang tidak tuntas berobat. Alasannya, sudah merasa enakan, tidak lagi bergejala, dan bosan minum obat.Â
Padahal, orang yang telah terinfeksi TBC tidak boleh putus untuk mengkonsumsi obat anti tuberkulosis (OAT). Sebab risiko resistensi obat, karena perilaku ini jadi jauh lebih tinggi.Â
Umumnya, kuman TBC menyerang organ paru. Kuman ini juga dapat menginfeksi bagian tubuh lainnya seperti kelenjar getah bening, sendi, otak, hingga tulang.Â
TBC Punya Gejala Khas Sampai Tak Bergejala
Melalui seminar "Ayo Bersama Akhir TBC, Indonesia Bisa" dalam rangka memperingati hari TBC Sedunia, dokter spesialis paru dari Rumah Sakit Pelni, dr. Berly, Sp. P menjelaskan bahwa gejala umum yang khas dari infeksi tuberkulosis  paru adalah batuk terus menerus. Baik yang berdahak ataupun tidak.Â
Selain itu, gejala lain yang dapat timbul diantaranya demam berkepanjangan, sesak napas, berat badan menurun, dahak bercampur darah, dan berkeringat di malam hari tanpa adanya sebab yang jelas.Â
Bila memiliki gejala-gejala tersebut, baiknya segera memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan tingkat I seperti klinik ataupun puskesmas terdekat.Â
Tak ada batasan usia seseorang dapat terinfeksi TBC, dr. Berly pun menjelaskan bahwa siapapun dapat tertular TB. Namun, belum tentu terinfeksi TB.Â
Maksudnya adalah jika seseorang memiliki imunitas yang baik, kuman TB yang masuk ke dalam tubuh bisa saja tertidur sehingga tidak menimbulkan infeksi pada penderitanya.Â
Sedangkan, orang dengan imunitas kurang baik cenderung lebih mudah terinfeksi. Misalnya, anak-anak, penderita HIV/AIDS, Lansia, penyandang diabetes melitus, dan perokok. Selain itu, orang dengan kontak erat dengan penderita TB juga cenderung lebih mudah tertular, jelasnya.Â
Selain gejala-gejala tersebut, pada penderita TBC diluar paru (eksterna) mungkin saja tidak mengalami ciri-ciri di atas. Namun, memiliki gejala lain. Misalnya, pada penderita TBC Kelenjar Getah bening umumnya terdapat benjolan-benjolan di area leher, ketiak, ataupun selangkangan.Â
Selain pemeriksaan dasar seperti tes dahak dan rontgen, pada pasien TBC kelenjar dapat diberikan tes penunjang lain apabila hasilnya negatif TB. Misalnya biopsi kultur kelenjar untuk memastikan apakah benjolan yang disebabkan benar, karena TBC.Â
Meskipun Tuntas Minum OAT, TB dapat Bersifat Laten, Kambuhan, dan Resisten Obat
Indonesia sehat bebas TBC tentunya tidak dapat lahir hanya dari kebijakan pemerintah semata. Kerjasama dari tenaga kesehatan dan masyarakat, terutama pasien TB jadi upaya konkrit untuk menuntaskan pemutusan mata rantai penularan TB.Â
Pasalnya, jika dibandingkan dengan kuman lain TB cenderung bandel dan memiliki kemampuan untuk mempertahankan diri yang lebih kuat dari OAT.Â
Masih dalam seminar Akhiri TB Indonesia Sehat, dr. Berly, Sp. P Selaku dokter spesialis paru Rumah Sakit Pelni menerangkan bahwa kuman TBC dapat bertahan pada suhu 4-70 derajat celcius.Â
Selain itu, Basil Tahan Asam (BTA) dapat telihat tidak lagi bergejala/tertidur (Dormant). Namun, sewaktu-waktu dapat aktif kembali dan menimbulkan sakit pada penderitanya.
Basil Tahan Asam (BTA) ini dapat mati jika terpapar sinar matahari langsung dan berada pada suhu 30-37 derajat celcius. Oleh karena itu, pasien TB dianjurkan untuk berjemur pada pagi dan sore hari.Â
Kuman TB dapat bersifat laten (tertidur) dan tidak lagi menunjukan gejala. Tentunya hal ini menjadi kabar baik bagi penderita TB. Sayangnya, pada kondisi tertentu kuman ini dapat aktif kembali dan menginfeksi lagi penderitanya.Â
Tentunya, ini mesti menjadi perhatian lebih bagi pasien penderita TB. Pasalnya, orang yang berobat tuntas saja dapat terinfeksi kembali. Apalagi, pasien dengan riwayat putus obat. Kemungkinan resistensi obat jadi jauh lebih besar.
Resisten obat sendiri adalah suatu kondisi di mana obat anti tuberkulosis (oat) tidak lagi efektif untuk melawan kuman TB. Selain itu, memutus obat secara sepihak, tidak kontrol dan monitoring secara berkala, dan gangguan penyerapan obat juga bisa jadi sebab resistensi terjadi.
Bahkan, meskipun sudah sesuai anjuran apabila telah terinfeksi dari orang yang resisten obat. Pasien tersebut mungkin saja termasuk pada pasien dengan resistensi obat dan tidak lagi efektif untuk mengkonsumsi obat TBC lini pertama.Â
Lantas, bagaimana nasibnya jika sudah terjadi demikian?
Pemeriksaan lanjutan dengan dokter spesialis yang relevan dan taat dengan tata laksana pengobatan adalah kunci keberhasilan pengobatan TB. Oleh karena itu pasien mesti sadar betul akan hal ini.Â
Dorongan keluarga dan lingkungan sekitar juga mesti digaungkan agar pasien merasa termotivasi.Â
TB dan Bagaimana Dampaknya Pada Kesejahteraan Pasien?
Sebab pengobatan perorangnya pengobatan TBC mampu menghabiskan kurang lebih Rp. 3.400.000.Â
Sebagai salah satu penyakit yang dikatakan menular. Tentunya, mampu menimbulkan ketakutan tersendiri bagi orang lain. Terutama di tempat kerja.
Pengalaman pribadi saat tengah mendaftar magang disebuah perusahaan. Awalnya, interview dilakukan secara offline dan sebelumnya saya diminta untuk mengisi sebuah isian terkait data diri. Salah satu pertanyaan adalah penyakit yang diderita.
Benar saja, rekruternya pun membatalkan interview secara offline dan dilakukan secara daring. Hasilnya pun tentu saja tidak lolos. Cukup disayangkan, namun tetap juga tidak dapat komplen apapun. Pasalnya, banyak orang belum paham tentang TB.Â
Memang benar, bahwa pasien TB mampu menularkan bakteri tersebut pada orang lain melalui percikan batuk dan bersin yang dibawa oleh udara.Â
Di mana dalam sebuah penelitian disebutkan bahwa saat batuk kuman yang dihasilkan kurang lebih 3500 dan saat bersin lebih dari satu juta kuman.Â
Meskipun demikian, tetap perlu dipahami bahwa apabila pada penderita sensitif obat yang telah meminum OAT selama 2 bulan dan resisten obat selama 4 bulan sudah tidak lagi menularkan kuman ini kepada orang lain.Â
Terlebih pada TB Eksterna paru yang tidak memiliki riwayat paru. Sayangnya, hal ini belum banyak dipahami oleh institusi kerja dan akhirnya terjadilah pemutusan hubungan kerja kepada pasien penderita TB.Â
Pasalnya, selain kemungkinan penularan bakteri, pasien TB mesti melakukan kontrol secara berkala. Sehingga dinilai menggangu produktivitas kerja. Permasalahan baru pun dapat timbul antara apakah pasien tersebut putus pengobatan atau mengalami pemutusan hubungan kerja.
Ini bisa jadi masalah lain seperti memicu kenaikan angka pengangguran hingga permasalahan kesehatan mental. Opsi sistem kerja dari rumah (WFH) sebenarnya dapat menjadi penolong permasalahan ini.Â
Namun, lebih dari itu kesadaran dan memotiviasi pasien untuk tetap semangat minum obat sampai sembuh adalah upaya konkrit untuk menuntaskan permasalahan penularan penyakit TBC.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI