Mohon tunggu...
Eka Irawan F Saragih
Eka Irawan F Saragih Mohon Tunggu... Petani - Petani Muda

Once is not enough, it's just as high as we can count

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Urgensi Pendirian Lembaga Pangan Nasional

9 April 2019   12:53 Diperbarui: 9 April 2019   13:35 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam konsep negara demokrasi, kriteria fungsi lembaga negara dapat dibagi menjadi dua, yaitu lembaga negara utama dan lembaga negara penunjang. Lembaga negara penunjang tersebut merupakan pemilik kekuasaan keempat dalam konsep Trias politica yang memiliki sifat independen. Lembaga ini hadir karena kecenderungan dalam teori administrasi untuk mengalihkan tugas-tugas yang bersifat regulatif dan administratif menjadi tugas bagian lembaga negara. (Yves Meny dan Andrew, 1998)

Ada setidaknya lima alasan yang melatarbelakangi dibentuknya lembaga negara penunjang dalam suatu pemerintahan. Alasan tersebut adalah sebagai berikut: (Alder, op. cit, 1989)

1. Adanya kebutuhan untuk menyediakan pelayanan budayadan pelayanan yang bersifat personal yang diharapkan bebas dari risiko campur tangan politik.

2. Adanya keinginan untuk mengatur pasar dengan regulasi yang bersifat non-politik.

3. Perlunya pengaturan mengenai profesi-profesi yang bersifat independen, seperti profesi di bidang kedokteran dan hukum.

4. Perlunya pengadaan aturan mengenai pelayanan-pelayanan yang bersifat teknis.
Pendirian lembaga negara penunjang, juga menjadikan suatu negara lebih demokratis karena pendirian dan pelaksanaannya merupakan bentuk implementasi nyata dari keterlibatan rakyat.

5. Pembuatan lembaga negara yudisial informal yang dapat menyelesaikan sebuah perselisihan.

Di Indonesia, lembaga negara penunjang sudah mulai banyak didirikan seperti, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan lain-lain yang sifatnya ad hoc. Lembaga negara tersebut hadir karena latar belakang yang hampir sama dan adanya dorongan dari masyarakat untuk menciptakan sebuah pemerintahan yang  menganut paham Good Governance. 

Namun, untuk urusan pangan, lembaga negara penunjang tersebut belum didirikan sampai saat ini, padahal payung hukumnya sudah jelas ada yaitu Undang-Undang No.18 Tahun 2012 tentang "Pangan". Jika kita membandingkan dengan negara lain yang sudah maju, lembaga negara penunjang hampir bisa dipastikan selalu ada di setiap lini, bahkan di Italia sendiri punya sekitar 40.000 lembaga negara penunjang.

Ketika payung hukum sudah dibentuk namun realisasi belum ada hingga saat ini, dapat dipastikan bahwa Pemerintah Pusat telah gagal. Sejak tahun 2012 yang lalu Undang-undang tentang "Pangan" telah ditetapkan dan tertuang bahwa Indonesia harus membuat lembaga Pemerintah yang menangani bidang pangan yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. 

Dalam kasus ini, DPR juga dapat dipastikan telah gagal, karena sudah 6 tahun Undang-undang tersebut tidak dijalankan oleh Pemerintah Pusat, namun DPR hanya satu kali melakukan fungsi kontrolnya kepada pemerintah tanpa mengeluarkan surat peringatan apapun. Kedua elemen tersebut telah gagal dalam menjalankan fungsi lembaganya dan merealisasikan amanat Undang-Undang No.18 Tahun 2012 tentang "Pangan" khususnya Pasal 126.

Permasalahan pangan di Indonesia, merupakan permasalahan integral dan sangat kompleks. Aspek sosial, ekonomi, dan politik serta lingkungan sangat berpengaruh terhadap permasalahan pangan yang terjadi di Indonesia. Produktivitas yang rendah,  nilai gizi dan mutu pangan yang buruk, ketersediaan pangan, dan akses warga terhadap pangan, serta kesejahteraan petani merupakan turunan permasalahan yang harus segera diselesaikan. Terlebih, Indonesia memiliki cita-cita pada tahun 2045 akan menjadi lumbung pangan dunia. 

Mengingat permasalahan pangan sangat erat dengan aspek politik, maka menjadikannya sebagai komoditas utama dari para calon wakil rakyat untuk menawarkan sebuah solusi kebijakan yang harapannya akan dapat menanggulangi masalah pangan. Sehingga wajar bahwa sampai detik ini belum ada solusi kebijakan tersebut yang mampu menjadikan isu pangan terselesaikan, karena jika diselesaikan maka habislah lahan basah elektoral mereka. Bahkan yang lebih parahnya, neraca perdagangan untuk sub sektor pangan di Indonesia tahun 2012-2014 mengalami defisit.

Gambar 1. kontribusi sub sektor pertanian berdasarkan rata-rata nilai ekspor dan impor tahun 2012-2014 (Kementan, 2015)
Gambar 1. kontribusi sub sektor pertanian berdasarkan rata-rata nilai ekspor dan impor tahun 2012-2014 (Kementan, 2015)

Peran BULOG yang semakin lama semakin kurang maksimal karena berubah menjadi BUMN pada tahun 2003 menjadikannya kalah sebagai stabilisator harga pangan di pasaran karena memiliki tuntutan untuk menghasilkan laba. Hal tersebut akhirnya mengharuskan BULOG menetapkan HPP yang sangat rendah dari para petani, dan menyebabkan petani menjual hasil produksinya kepada para tengkulak yang dapat menawarkan keuntungan lebih. Selain HPP yang rendah, distribusi beras dari BULOG setiap tahun mengalami penurunan yang akhirnya berdampak pada tingginya harga pangan di pasaran. Terbukti dengan tingginya harga beras di Indonesia bila dibanding negara-negara lain di Asia.

Gambar 2. Harga beras di negara-negara Asia tahun 2017 menurut FAO
Gambar 2. Harga beras di negara-negara Asia tahun 2017 menurut FAO

Alur koordinasi yang berbelit juga menjadi kendala bagi suatu badan pangan untuk dapat bergerak cepat dan tepat dalam menghadapi polemik pangan ini. Terdapat banyak sekali kementerian dan lembaga terkait yang bergerak di bidang pangan di Indonesia. Bahkan, BULOG dalam menjalankan kebijakan impor, harus menunggu hasil rapat koordinasi antara Kementerian Perdagangan dengan Kementerian Pertanian.

Gambar 3. Perpres No.48 Tahun 2016 Tentang Penugasan Kepada Perum BULOG Pasal 16
Gambar 3. Perpres No.48 Tahun 2016 Tentang Penugasan Kepada Perum BULOG Pasal 16

Ketika permasalahan pangan ditangani oleh banyak pihak, seharusnya menjadikannya dapat terselesaikan dengan mudah. Logika umumnya ketika bekerja dengan banyak orang maka akan lebih mudah menyelesaikannya dibandingkan bekerja sendiri. Namun, hal tersebut tampaknya tidak menjadikannya mudah untuk hal pangan, karena permasalahan ini erat sekali dengan aspek politik. Ketika permasalahan yang erat dengan aspek politik tersebut ingin diselesaikan, akhirnya timbul ego sektoral dari setiap lini dan malah menyebabkan koordinasi yang berantakan.

Dengan semua latar belakang tersebut dan dasar Undang-Undang No.18 Tahun 2012 tentang "Pangan", maka memang sudah seharusnya Pemerintah Pusat untuk segera membuat Peraturan Presiden terkait ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi dan tata kerja lembaga Pemerintah tersebut, dan Dewan Perwakilan Rakyat harus melakukan fungsi kontrolnya kepada Pemerintah Pusat dengan mengeluarkan Surat Peringatan kepada Pemerintah Pusat dan Kementerian terkait untuk segera menyelesaikan Perpres pendirian lembaga tersebut dan tetap mengawal segala proses terkait.

Jangan biarkan petani terus menangis di negeri agraris dan kedaulatan pangan hanya menjadi angan. Jangan anggap pangan seakan mainan, karena jika rakyat lapar, negara bisa bubar!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun