Dalam kasus ini, DPR juga dapat dipastikan telah gagal, karena sudah 6 tahun Undang-undang tersebut tidak dijalankan oleh Pemerintah Pusat, namun DPR hanya satu kali melakukan fungsi kontrolnya kepada pemerintah tanpa mengeluarkan surat peringatan apapun. Kedua elemen tersebut telah gagal dalam menjalankan fungsi lembaganya dan merealisasikan amanat Undang-Undang No.18 Tahun 2012 tentang "Pangan" khususnya Pasal 126.
Permasalahan pangan di Indonesia, merupakan permasalahan integral dan sangat kompleks. Aspek sosial, ekonomi, dan politik serta lingkungan sangat berpengaruh terhadap permasalahan pangan yang terjadi di Indonesia. Produktivitas yang rendah, Â nilai gizi dan mutu pangan yang buruk, ketersediaan pangan, dan akses warga terhadap pangan, serta kesejahteraan petani merupakan turunan permasalahan yang harus segera diselesaikan. Terlebih, Indonesia memiliki cita-cita pada tahun 2045 akan menjadi lumbung pangan dunia.Â
Mengingat permasalahan pangan sangat erat dengan aspek politik, maka menjadikannya sebagai komoditas utama dari para calon wakil rakyat untuk menawarkan sebuah solusi kebijakan yang harapannya akan dapat menanggulangi masalah pangan. Sehingga wajar bahwa sampai detik ini belum ada solusi kebijakan tersebut yang mampu menjadikan isu pangan terselesaikan, karena jika diselesaikan maka habislah lahan basah elektoral mereka. Bahkan yang lebih parahnya, neraca perdagangan untuk sub sektor pangan di Indonesia tahun 2012-2014 mengalami defisit.
Peran BULOG yang semakin lama semakin kurang maksimal karena berubah menjadi BUMN pada tahun 2003 menjadikannya kalah sebagai stabilisator harga pangan di pasaran karena memiliki tuntutan untuk menghasilkan laba. Hal tersebut akhirnya mengharuskan BULOG menetapkan HPP yang sangat rendah dari para petani, dan menyebabkan petani menjual hasil produksinya kepada para tengkulak yang dapat menawarkan keuntungan lebih. Selain HPP yang rendah, distribusi beras dari BULOG setiap tahun mengalami penurunan yang akhirnya berdampak pada tingginya harga pangan di pasaran. Terbukti dengan tingginya harga beras di Indonesia bila dibanding negara-negara lain di Asia.
Alur koordinasi yang berbelit juga menjadi kendala bagi suatu badan pangan untuk dapat bergerak cepat dan tepat dalam menghadapi polemik pangan ini. Terdapat banyak sekali kementerian dan lembaga terkait yang bergerak di bidang pangan di Indonesia. Bahkan, BULOG dalam menjalankan kebijakan impor, harus menunggu hasil rapat koordinasi antara Kementerian Perdagangan dengan Kementerian Pertanian.
Ketika permasalahan pangan ditangani oleh banyak pihak, seharusnya menjadikannya dapat terselesaikan dengan mudah. Logika umumnya ketika bekerja dengan banyak orang maka akan lebih mudah menyelesaikannya dibandingkan bekerja sendiri. Namun, hal tersebut tampaknya tidak menjadikannya mudah untuk hal pangan, karena permasalahan ini erat sekali dengan aspek politik. Ketika permasalahan yang erat dengan aspek politik tersebut ingin diselesaikan, akhirnya timbul ego sektoral dari setiap lini dan malah menyebabkan koordinasi yang berantakan.
Dengan semua latar belakang tersebut dan dasar Undang-Undang No.18 Tahun 2012 tentang "Pangan", maka memang sudah seharusnya Pemerintah Pusat untuk segera membuat Peraturan Presiden terkait ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi dan tata kerja lembaga Pemerintah tersebut, dan Dewan Perwakilan Rakyat harus melakukan fungsi kontrolnya kepada Pemerintah Pusat dengan mengeluarkan Surat Peringatan kepada Pemerintah Pusat dan Kementerian terkait untuk segera menyelesaikan Perpres pendirian lembaga tersebut dan tetap mengawal segala proses terkait.
Jangan biarkan petani terus menangis di negeri agraris dan kedaulatan pangan hanya menjadi angan. Jangan anggap pangan seakan mainan, karena jika rakyat lapar, negara bisa bubar!