Mohon tunggu...
Eka Rifai
Eka Rifai Mohon Tunggu... Guru - Mompreuner dan Author

Ibu dari Rayyan Abdurrahman Ahadyazka dan Ihsan Muhammad Ahadyanis, menyukai kegiatan literasi dan bergelut di dunia pendidikan dalam kesehariannya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

The Last Meat

7 Agustus 2019   08:24 Diperbarui: 7 Agustus 2019   08:25 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

The Last Meat

(Sebuah karya creepypasta)
By. Eka D. Rifa'i

Alhamdulillah berhasil uji resepnya, yang pengen coba mampir aja ke rumah yaa
Resep kusertakan difotonya

1053 likes  761 comments 134 shared

Itu status terbaru Hana, putri Elizabeth, istriku dengan mantan suaminya. Sebuah foto jenis makanan Italy legendaris turut diunggah ke wall akun FBnya. Hana memang sangat gemar mencoba bahkan membuat berbagai  jenis resep kue dan masakan sejak ia masih kecil, persis mamanya yang selalu berupaya keras menawanku dengan aneka macam menu penggugah selera sejak awal kami berkenalan. Namun sayang, selera makanku selalu buruk dan tak pernah kunjung membaik sedari aku kecil.
***

"Kenapa sih kamu payah sekali kalau sudah urusan makan? Emangnya nggak pernah merasa laper ya?" tanya Elizabeth seraya memelototi aku yang sedang menahan mual mencium nasi padang yang disajikan manis oleh Stella, pelayan kantin zaman kami kuliah dulu.  
Aku mengambil jurusan informatika sementara Liz mengambil jurusan tata boga.
 Kami bertemu pertama kali saat ospek universitas, berteman cukup akrab lalu berpisah setelah lulus kuliah dan baru berhubungan kembali beberapa waktu lalu lewat sosial media setelah ia menyandang predikat janda beranak gadis jago masak sepertinya. Aku melamarnya bulan lalu. Putri semata wayangnya, Kana_berusia enam belas tahun, chef muda handal yang kerap memenangkan banyak event perlombaan masak, baik tingkat nasional maupun internasional.

Liz hafal betul dengan tabiat burukku. Susah makan, tak ada selera menanggapi makanan apapun yang disajikan. Jelas saja hal ini membuatnya frustasi, sebagai seorang chef ia benar-benar tak dapat mengandalkan aku untuk menilai    karya-karya spektakulernya. Demikian pula dengan Hana, sejatinya ia tampak agak menyesali keputusan ibunya menerima lamaranku untuk menjadi ayah tirinya. Lalu aku sendiri? Aku hanya tak ingin menghabiskan masa tuaku seorang diri, Liz adalah wanita yang paling peduli dan sayang padaku, demikian pula aku merasakan hal yang sama kepadanya.

Jangan paksa aku makan, perutku akan bergolak dengan dahsyat, siap meluahkan apa saja yang berada di dalamnya. Bayangan potong demi potong bangkai homo sapiens yang diracik dengan suka cita di depan mataku selalu hadir bagai mimpi buruk yang tak berkesudahan.

"Ini enak sekali, Ry ... ayo makan yang banyak, kita punya cukup persedian hingga akhir bulan ini." Senyum manis menghiasi wajah wanita paruh baya itu. Tak dapat kubayangkan seberapa hijau wajahku, hanya satu yang kuingat, betapa aku selalu berhasil mengenyahkan semangkuk sup daging bagianku. Hell no, aku tak pernah sanggup menelan potongan daging anak manusia itu.

"Kita miskin, Ry ... tapi tetap butuh protein, jadi apa salahnya?" Wanita itu berdiplomasi. Aku hanya diam, anak kecil sepertiku mana tahu halal haram, tapi satu yang kutahu, membunuh adalah dosa besar dan kejahatan yang nyata.

"Aku tak membunuhnya, toh ia sudah mati ... dia sudah dikuburkan lalu ditinggal oleh sanak famili, apa salahnya jika aku mengambil sedikit daging pahanya untuk pesta perayaan kelulusan anak-anak panti malam nanti." Wanita itu tak pernah merasa bersalah dengan tindakannya yang telah berhasil membunuh selera makanku untuk selama-lamanya.
***

"Ry, kamu melamun?" Liz menepuk bahuku pelan, seraya menunjuk kearah signature dish putri kebanggaannya.

"Pa, tolong ambil foto steak yang baru kubuat ini dong ... setelah itu cicipi dan kasi ulasan di wallku juga ya," pinta Hana dengan memelas, dia tahu kemampuan fotografiku bisa diandalkan. Aku menelan saliva, bayangan potongan demi potongan tubuh manusia kembali menyergapku. Lidah itu ... hati dan paru ... yaa Tuhaaan, aku ingat persis bola mata yang dicungkil paksa di depan biji mataku. Perutku kembali bergejolak, sanggupkah aku mencicipi sajian putri kesayangan istriku? Bau amis darah entah dari mana menyergapku, cincangan daging paha menari-nari di pelupuk mataku. Sayup kudengar suara gadis yang telah kuanggap darah dagingku sendiri itu memanggil berulang-ulang namaku ...
Sesaat semua tampak gelap, lalu merah darah memenuhi ruang pandangku ... kemudian menghitam ... semakin kelam, aku tak ingat lagi apapun setelah itu. Sungguh ini bukan sandiwara, aku benar-benar mengalami peristiwa demi peristiwa yang memualkan itu selama masa kecilku, salahkah aku kehilangan selera makanku hingga kini? Honey please, dont blame me!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun