Mohon tunggu...
Eka mayor
Eka mayor Mohon Tunggu... Guru - menjadi jati diri yang lebih berguna bagi orang lain

menjadi manusia untuk memanusiakan orang lain

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan di Papua Masih Sangat Minim

12 Januari 2020   20:46 Diperbarui: 12 Januari 2020   20:46 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Data dari United Nations Children's Fund (Unicef) menunjukkan bahwa 30% siswa Papua tidak menyelesaikan SD dan SMP mereka. Di pedalaman, sekitar 50% siswa SD dan 73% siswa SMP memilih untuk putus sekolah.

Kondisi geografis merupakan salah satu faktor yang menyulitkan warga Papua untuk mendapatkan pendidikan.

Sekolah-sekolah di kota-kota besar di Papua mungkin tak memiliki kesulitan yang sama dengan yang dialami sekolah-sekolah di pedalaman. Namun masih ada persoalan lain yang menghalangi perkembangannya.

Bahkan di SD Abeale I yang bebas biaya, banyak siswa yang tidak mendapatkan pendidikan layak. Sudarwati mengatakan, sekolah yang dipimpinnya butuh lebih banyak guru yang berkualitas, terutama untuk kelas komputer dan Bahasa Inggris.

"Kami telah memperbaiki kapasitas dan kualitas guru-guru di Papua," ujar Sudarwati, yang telah mengajar di Papua sejak 1990.

Tak hanya kualitas guru yang mengkhawatirkan, tapi juga kondisi infrastrukturnya. Gedung sekolah yang dibangun di era 70-an butuh direnovasi. Selain itu, diperlukan tambahan dua kelas lagi untuk mengakomodasi siswa-siswanya.

Meski begitu, Sudarwati tidak menyerah. Mengajar dan belajar merupakan kontribusi paling penting yang ia berikan kepada masyarakat.

Meski begitu, secercah harapan kerap muncul di tengah situasi yang sulit. Di daerah pegunungan Mamit, di Tolikara, SD Lentera Harapan masih berdiri untuk menyediakan pendidikan berkualitas dan gratis untuk warga lokal.

Dipimpin oleh Laura Elisabeth Panggabean, sekolah itu bertujuan untuk menyediakan kesempatan pendidikan yang merata untuk seluruh anak-anak di kawasan pedesaan yang miskin.

Awalnya, masalah yang dihadapi Laura dan relawan guru lainnya di Mamit bukanlah standar hidup yang rendah atau betapa terpencilnya desa itu. Kendala utama mereka adalah bahasa.

"Saat para siswa datang untuk pertama kali, mereka belum bisa berbicara dalam bahasa Indonesia. Sebab, rata-rata mereka hanya berbicara dalam bahasa lokal mereka, bahasa Lani," tutur Laura.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun