Mohon tunggu...
Arsyad Iriansyah
Arsyad Iriansyah Mohon Tunggu... Administrasi - Pengalaman adalah guru, setiap orang adalah murid dan guru.

Arsyad Iriansyah sudah menyukai dunia blog atau menulis saat duduk di kelas 1 SMA. Blog pertamanya masih ada yaitu arsyadiriansyah.com . Lebih banyak menulis pengalamannya menjadi relawan guru, toleransi, kehidupan sehari-hari, dan tak jarang menulis hal serius tentang isu kebijakan publik. Selain itu, ia tidak lebih dari anak muda lainnya yang hanya ingin belajar, belajar dan belajar. Dapat dihubungi via surel arsyadiriansyah@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Kehangatan Masyarakat Pegunungan Bintang dan Toleransi yang Tak Sekadar Bicara

6 Januari 2017   09:27 Diperbarui: 6 Januari 2017   11:09 1332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Oh.. itu jubah ibu guru.” Jawab Itho murid kelas 6 ku, dengan penuh semangat.

Mereka akhirnya mengerti alasan mengapa aku harus mengenakan hijab untuk menutupi rambutku. Ah memang anak-anak, lugu dan polos sekali.

Bisa ceritakan aktivitas kamu sehari-sehari selama di Pegunungan Bintang dari bangun tidur sampai tidur?
Berbagai aktivitas kami jalani di tiap harinya. Hari-hari kami selalu berwarna dengan canda tawa anak-anak. Selalu ada hal yang berbeda dan unik di tiap harinya. Sekolahku terdiri dari 6 kelas. Saya biasa mengajar kelas 1 dan 2. Jangan tanya ada berapa banyak murid saya, karena kelas 1 dan 2 di sana berbeda dengan kebanyakan kelas 1 dan 2 pada umumnya. Banyak anak-anak yang masih berumur 2 tahun, 3 tahun, hingga 5 tahun sudah dimasukkan ke sekolah oleh ibunya. Tapi tak heran juga, anak kelas 2 misalnya ada yang nampak sudah seperti bapak-bapak. Hal ini terjadi karena mereka tidak mengenal tanggal lahir.

Jadi mereka sendiri tidak mengetahui berapa umurnya, sangat beragam. Anak-anak yang baru lahir kemarin juga tak jarang langsung disekolahkan oleh orang tuanya. Bagi mereka, sekolah seperti tempat penitipan anak ketika mereka hendak ke kebun. Jadi sudah wajar, kalau di kelas mendengar anak menangis, anak yang besar nakal ke adiknya, anak yang berebut alat tulis, ah sudah menjadi pemandangan biasa bagiku akan hal tersebut. Tapi yang menarik bagi mereka, semangat untuk belajar mereka begitu tinggi. Selepas pulang sekolah, selang hanya 10 menit kami tiba di rumah tempat kami tinggal, anak-anak sudah stand by di depan pintu untuk meminta belajar.

“Ibu guru.. bisa belajarkah?” suara mungil terdengar dari balik pintu.

Ah sudah dipastikan itu pasti anak-anak Yambul minta untuk belajar baca dan tulis. Maklum mereka baru kenal mainan baru yang namanya 'baca dan tulis'. Semangat mereka begitu luar biasa.

Tak jarang juga kami bermain softball (permainan yang pertama kali kami ajarkan ke anak-anak), bermain ke hutan, mandi dan cuci baju bersama di sungai, jahit noken di dapur bersama mama-mama, keliling kampung sambil main kelereng, bahkan beberapa kali karena kelelahan kami akhirnya tertidur di kebun milik warga atau bermalam di rumah warga untuk belajar membuat unom. Bermain voli juga tak kalah ketinggalan, biasa kami bermain voli di sore hari.

Menjelang malam, biasanya kami menantikan akankah datang listrik hari ini? Jika ada warga yang membawa sedrum solar, biasanya saya dan anak-anak riang gembira. Mengapa? Di desa kami listrik menjadi hal yang mahal karena harus menyediakan sekurang-kurangnya solar sedrum dengan harga 250.000 untuk menyalakan genset. Jika listrik menyala, bukan main anak-anak gembiranya. Mereka berkeliling kampung sambil berteriak, “Listrik datang... listrik datang..”

dok: Shofy
dok: Shofy

Wah asyik sekali, bagaimana semangat anak-anak di sana?
Jangan pernah menanyakan semangat anak-anak di sana, justru mereka yang menyemangati kami tentang makna kehidupan. Hidup di sana begitu keras, anak-anak kecil sudah biasa mencari kayu bakar dan belah kayu.

Saya melihat semangat anak-anak yang begitu besar ketika mereka akan berangkat ke sekolah. Tak jarang ada murid saya yang harus menempuh 2 jam jalan kaki dengan jalanan pegunungan menanjak bebatuan besar. Adapula yang tak beralaskan kaki bahkan tak berseragam dan harus menempuh sekitar 45 menit untuk sampai di sekolah. Tapi keterbatasan itu tak membuat semangatnya surut dan membatasi dirinya untuk terus belajar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun