Mohon tunggu...
Eka Kurnia Hikmat
Eka Kurnia Hikmat Mohon Tunggu... -

Trainer & Konselor Partner to Grow

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pencarian Identitas Imigran di Amerika

22 Oktober 2010   08:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:12 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul Buku: The Rug Merchant, Pedagang Permadani Penulis: Meg Mullins Penerbit: Bentang Cetakan : I, Mei 2009 Tebal: viii + 314 halaman

Jika anda tengah patah hati, agaknya novel ini layak menjadi teman anda. Betapa tidak, novel ini—The Rug Merchant, Pedagang Permadani—juga mengisahkan patah hati Ushman Khan, sang tokoh utama, seorang pedagang permadani Iran yang beremigrasi ke Amerika, atas cinta sejatinya.

Diceritakan Ushman beremigrasi ke Amerika demi kehidupan yang lebih baik bagi ia dan istrinya, Farak. Ushman selalu memimpikan suatu saat dapat membawa istrinya ke New York, meninggalkan Tabriz. Kebahagiaan Faraklah satu-satunya tujuan ia berkelana sejauh itu. Bayangannya akan Faraklah yang membuatnya bertahan menahan keras dan sepinya sendirian di negeri orang.

Apa mau dikata, Farak pujaan hatinya ternyata mengkhianatinya. Ia mengandung janin laki-laki lain setelah ditinggalkan suaminya merantau. Ushman sangat berharap janin itu tidak akan selamat, seperti lima janin lain darinya yang pernah dikandung Farak sebelumnya, yang selalu mengalami keguguran. Namun takdir berkata lain, janin yang ini justru bertahan.

Kejadian ini ternyata tidak mampu menghapus cinta Ushman begitu saja. Ushman mau menerima keadaan itu dan masih meminta istrinya bergabung dengannya di Amerika. Ia berjanji akan merawat bayi itu seperti anaknya sendiri. Ushman tak pernah bisa membayangkan hidup tanpa istrinya.

Tapi istrinya menolak karena ia telah mengajukan perceraian dan akan hidup dengan ayah bayi itu di Istanbul. Ini membuat Ushman mengerti pada akhirnya, bahwa keengganan istrinya bergabung dengannya selama ini bukanlah karena tidak yakin Amerika akan cocok untuknya, tapi karena ia tidak yakin telah mencintai Ushman.

Cinta sejati sepertinya memang tak bisa dimusnahkan begitu saja, apapun yang telah terjadi, karena jauh setelah kejadian itu, Ushman masih sering bolak-balik ke bandara, mengkhayalkan akan menemukan istrinya di antara para penumpang yang turun dari pesawat.

Di bandara inilah—saat kesepian begitu tak tertahankan—Ushman bertemu dengan Stella, seorang gadis Amerika yang berusia separuh usianya. Stella dengan jiwa mudanya mengingatkan Ushman akan keceriaan yang tak lagi dimilikinya. Stella-lah kemudian yang membuatnya sadar bahwa memaafkan—di samping pengorbanan--adalah juga bagian yang tak terpisahkan dari cinta. Ushman pada akhirnya dapat berdamai dengan cinta yang tak pernah bisa digapainya.

Melalui novel yang segera akan difilmkan oleh Fox Searchlight Pictures—produser Slumdog Millionaire--ini sang penulis dengan fasih menuturkan lika-liku hidup imigran di Amerika. Tentang gegar budaya (culture shock) yang hampir selalu dialami mereka yang menjejakkan kakinya di negara yang mereka percayai sebagai ‘tanah harapan’ yang menjanjikan kehidupan yang lebih baik ini.

Meg Mullins, si penulis jebolan Universitas Columbia ini menggambarkan dengan lugas inferioritas dan kecanggungan yang kerap dirasakan para imigran di Amerika yang tak jarang menganggap diri mereka adalah warga negara kelas dua di negara adikuasa ini.

Perbenturan antara budaya konvensional serta restriktif khas Timur Tengah khususnya Persia tentang relasi antar insan dengan budaya bebas, ekspresif, dan spontan gaya Amerika ditampilkan dengan menawan dalam novel ini. Riset penulis mengenai corak serta seluk beluk sejarah permadani--background novel ini--yang menjadi salah satu kekayaan dan kebanggaan Persia juga patut diacungi jempol.

Namun sayangnya, seperti novel-novel lain yang serupa, sebutlah The Kite Runner atau A Thousand Splendid Suns, novel ini juga menceritakan hanya sisi-sisi gelap serta sikap hipokrit (baca: munafik) sebagian budaya dan penduduk muslim Timur Tengah. Novel ini misalnya, seperti juga dua novel yang tadi disebut, menceritakan bahwa perselingkuhan dan perzinahan toh ternyata juga bisa terjadi di negara yang memberlakukan hukum Islam dalam pemerintahannya.

Ini mungkin sah-sah saja dan tidak akan dianggap berpihak pada budaya Barat yang diklaim superior jika saja juga dibarengi dengan penggambaran mengenai sisi-sisi positif budaya serta perilaku muslim di negara-negara Islam seperti halnya Iran dalam novel ini atau Afghanistan dalam dua novel lainnya tadi. Tapi absennya hal ini dalam novel-novel tersebut bisa menjadi pembenaran anggapan sementara kalangan yang menuduh bahwa novel-novel semacam ini adalah alat propaganda untuk menyudutkan Islam dan mengagungkan budaya Barat.

Bagaimanapun juga, jika kita bisa mengesampingkan segala macam prasangka serta mampu melihat dari sudut pandang yang netral dan jernih, novel ini tetap layak dibaca karena mengingatkan kita untuk mengakui kelemahan-kelemahan dan sifat-sifat manusiawi kita. Selamat membaca!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun