Mohon tunggu...
Yulwhinar Eka Saputra
Yulwhinar Eka Saputra Mohon Tunggu... Administrasi - Santri Pesantren Kali Opak Yogyakarta dan staf administrasi LESBUMI PBNU

Perspektif periferal kemanusiaan.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Di Balik Nampan Logam Program Gizi

9 Januari 2025   16:44 Diperbarui: 9 Januari 2025   16:44 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Di tengah kontras ini, sistem pesantren yang sederhana justru menunjukkan kejujuran yang menenteramkan. Tanpa pretensi tentang standar gizi atau perhitungan kalori yang rumit, mereka menyajikan apa adanya, berbagi apa yang tersedia.

Keterbukaan ini menciptakan ruang dialog yang sehat - santri bisa mengungkapkan keluhan tanpa rasa takut, usulan perbaikan bisa disampaikan dengan bebas.

Fleksibilitas sistem pesantren memang membawa tantangan tersendiri. Tanpa standar baku, kualitas makanan bisa sangat bervariasi antara satu pesantren dengan yang lain. Pesantren di daerah subur dengan jaringan donatur kuat tentu lebih beruntung dibanding pesantren di wilayah miskin sumber daya. Namun setidaknya, tidak ada kepura-puraan di sini. Tidak ada laporan fiktif yang mencoba memoles realitas.

Lantas, apa yang bisa kita pelajari dari kontras ini? Mungkin ini bukan sekadar soal program makan atau standar gizi. Ini adalah cermin yang lebih besar tentang bagaimana sebuah sistem pendidikan memperlakukan anak didiknya.

Ketika sebuah program lebih sibuk menjaga citra daripada substansi, ketika kritik dibungkam dan realitas ditutupi, bukankah ini bentuk pengkhianatan terhadap tujuan mulia pendidikan itu sendiri?

Yang dibutuhkan bukanlah sekadar perbaikan menu atau peningkatan anggaran. Yang diperlukan adalah perubahan fundamental dalam cara pandang dan pendekatan.

Transparansi harus menjadi prinsip utama, bukan ancaman yang ditakuti. Suara kritis siswa harus dilihat sebagai masukan berharga, bukan gangguan yang harus dibungkam. Kita membutuhkan sistem yang tidak hanya peduli pada laporan dan proposal, tetapi benar-benar berfokus pada kesejahteraan dan martabat anak didik.

Mungkin di sinilah kita bisa belajar dari kesederhanaan pesantren - bahwa kejujuran dan keterbukaan, meski kadang menunjukkan keterbatasan, jauh lebih berharga dari kepura-puraan yang dibungkus rapi dalam laporan.

Karena pada akhirnya, perjuangan untuk keadilan gizi bukan hanya soal memenuhi kebutuhan perut, tetapi juga tentang menghormati martabat dan hak dasar setiap anak untuk mendapatkan yang terbaik dengan cara yang benar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun