Jika kita menyusuri ribuan pulau di Nusantara, akan kita temui pemandangan yang menggetarkan hati - sebuah potret kontras tentang bagaimana sebuah bangsa memberi makan generasi mudanya. Di sudut-sudut negeri ini, dua sistem pemberian makan tengah berjalan beriringan, namun dengan realitas yang jauh berbeda dari yang terlihat di permukaan.
Sistem pertama telah berusia ratusan tahun, mengakar kuat di pesantren-pesantren, tempat para santri berbagi nasi dari piring besar dengan penuh keakraban dan kehangatan. Yang kedua hadir sebagai program pemerintah yang tampak modern dan terstruktur di atas kertas, namun menyimpan berbagai ironi dalam pelaksanaannya.
Mari kita mulai dengan menyibak tirai kehidupan di sebuah pesantren tradisional di pedalaman Jawa. Bayangkan suasana makan siang yang sederhana namun penuh makna - puluhan santri duduk bersila di lantai, mengelilingi nampan berisi nasi putih mengepul dan lauk sederhana hasil kebun sendiri atau sumbangan warga sekitar.
Tidak ada menu khusus yang dirancang ahli gizi, yang ada hanyalah berkah dari apa yang tersedia hari itu. Terkadang santapannya hanya tempe goreng dan sayur lodeh, kadang ada telur dadar atau ikan asin bila sedang beruntung.
Namun justru dari kesederhanaan inilah muncul kearifan yang tak ternilai - para santri belajar mensyukuri apa yang ada, berbagi dalam kekurangan, dan memanfaatkan sumber daya lokal dengan bijaksana.
Bergeser ke ruang kelas sekolah negeri, realitasnya jauh berbeda dari yang dibayangkan. Anak-anak duduk di kursi yang sama tempat mereka belajar, menghadapi nampan logam berisi makanan yang seringkali jauh dari standar gizi yang dijanjikan dalam proposal.
Di atas meja belajar yang sempit itu, mereka harus menyelesaikan makan siang dengan cepat, tanpa kenyamanan ruang makan yang layak. Standarisasi yang begitu didengungkan dalam dokumen seringkali hanya menjadi formalitas di atas kertas.
Yang lebih mengkhawatirkan, ada upaya sistematis untuk menutupi realitas ini dari mata publik. Siswa dilarang memotret makanan mereka, sebuah kebijakan yang dibungkus dengan dalih "menjaga kredibilitas sekolah".
Ancaman dan tekanan semacam ini bukan hanya melanggar hak dasar siswa untuk bersikap kritis, tetapi juga menciptakan budaya ketakutan dan kepatuhan buta. Bukankah seharusnya transparansi justru menjadi kunci perbaikan kualitas?
Program pemerintah yang tampak sempurna dalam laporan ini menyimpan ironi yang getir. Bagaimana mungkin berbicara tentang standar gizi ketika siswa bahkan tidak diberi ruang untuk mengungkapkan kondisi sebenarnya?Â
Sementara dokumen melaporkan menu seimbang dengan perhitungan kalori yang presisi, realitas di nampan logam itu seringkali bercerita lain. Ketimpangan antara janji dan kenyataan ini menjadi lebih menyakitkan ketika sistem justru berusaha membungkam suara-suara kritis.