****
Barangkali Jakarta memang menampilkan hal -hal yang menyenangkan untuk menggoda hati yang rapuh tanpa memberitahu sesuatu yang menyesakan hati. Aku lupa bagian terburuk dari ibukota yang melelahkan tersebut. Dan, aku abai bahwa sejatinya hidup adalah rangkaian dari kelelahan satu dengan kelelahan lain yang tak ada habisnya.
Kak Lea, ibuk menanyakanmu. Pulanglah, kalau kamu belum menemukan pekerjaan disana
Sebuah pesan whatsApp dari adikku masuk saat aku berada di sebuah warung kopi. Aku sedang berjibaku mengirim puluhan email terkait lamaran kerja. Mencoba peruntungan yang ternyata tidak semudah dalam bayangan.
Aku kembali mengabaikan pesan tersebut dan tetap fokus pada layar laptopku. Arinda, adikku, kembali mengirimkan pesan. Kali ini ia mengirimkan sajian makan siang di meja makan hari ini.
Sial !
Satu - satunya yang kurindukan dari rumah adalah masakan ibu. Sebab masakan ibu satu - satunya yang ku yakini masih tersisa kasih sayang beliau terhadapku. Dan, Arinda tahu betapa lemahnya aku terhadap masakan ibu yang mengugah rasa tersebut.
Aku menggigit bibir pelan ditengah keraguan. Haruskah aku menyerah dan kembali ke rumah serta membuat impian baru di rumah ; menjadi anak berbakti?
****
Di tengah laut Karimunjawa, Jepara, aku memeluk erat dua kakiku dan menaruh dagu di atas lutut. Mulutku tak berhenti mengucapkan kalimat istighfar saat beberapa kali ombak besar menghantam kapal kami. Aku menunduk memejamkan mata, “ Tuhan, Aku belum berbakti kepada ibuku ,” wajah lelah ibuku tergambar jelas di benak ini.
Aku tersentak dari lamunanku akan peristiwa beberapa tahun lalu di Karimunjawa, saat terjebak badai hebat di tengah lautan. Saat itu, aku sedang melarikan diri dari kesedihan kehilangan nenek, orang yang mengajarkan soal memasak.