Mohon tunggu...
Eka Herlina
Eka Herlina Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis lepas

Seorang teman bagi temannya, seorang anak bagi ibu, dan seorang perempuan bagi dirinya.

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Bukannya Tidak Ingin Menikah, Hanya Saja ...

17 Februari 2024   16:17 Diperbarui: 19 Februari 2024   13:31 604
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Pasangan dalam perjalanan bernama pernikahah (Sumber foto : Freepik/freepik)

Mempertanyakan kapan nikah sama seperti mempertanyakan kapan saya bisa setajir Nagita Slavina

Usia saya sekitar 30-an, dan masih menikmati kesendirian di tengah gempuran pertanyaan kapan nikah serta segala perkara tuntutan untuk segera melaksanakan pernikahan. 

Tapi, persoalan adalah saya belum menemukan seseorang yang meraih telapak tangan ini dan menyakinkan bahwa perjalanan ke pernikahan baik-baik saja. 

Sudah satu dekade saya melewati pertanyaan kapan nikah dan telah menanggapi dengan berbagai emosi serta jawaban. Pada akhirnya jawaban terbaik adalah tersenyum. Percayalah, pertanyaan kapan saya melangsungkan pernikahan sama saja kayak pertanyaan kapan saya bisa setajir Nagita Slavina?

Sebab, pernikahan adalah perkara yang tidak bisa saya rancang semudah halnya tulisan ini. Ada namanya takdir yang telah diatur oleh sang Pencipta, saya percaya pada ketetapan Allah soal jodoh. 

Alih-alih mengkhawatirkan jodoh yang belum jua datang – mengkhawatirkan sesuatu yang telah ditetapkan Allah –, saya lebih fokus mengukir cerita menyenangkan dalam langkah ini. 

Berhenti Mempertanyakan Sesuatu diluar Kemampuan Kami

Ilustrasi: Pernikahan adalah sebuah perjalanan panjang (sumber foto:Freepik/prostooleh)
Ilustrasi: Pernikahan adalah sebuah perjalanan panjang (sumber foto:Freepik/prostooleh)

Untuk mereka kaum millennial, dimana berada di fase usia normalnya menikah dan sedang sibuk-sibuknya bermain dengan bocah, tapi kenyataan sedang asyik menikmati rangkaian drama korea terbaru atau duduk santai di kedai kopi terkini. 

Iya itu saya. Mari sama berpegang erat menghadapi badai pertanyaan dan pembahasan yang menyakitkan tentang kenapa belum menikah disaat undangan datang ke pernikahan generasi Z  satu persatu mulai menghampiri diri ini.

Terkadang pertanyaan kenapa belum menikah atau tidak menikah diikuti oleh pernyataan yang sungguh menyakitkan seperti : 

 “Itulah kenapa milih-milih. Apa lagi yah dipilih?” 

“Kriterianya nggak usah ketinggian,“ 

“Makanya jangan sekolah tinggi - tinggi,“ , … 

Narik napas dulu mengingat pertanyaan lainnya soal desakan untuk menikah. Duh, disangka lagi main pentas drama sekolah kali yah, bisa semudah itu. 

Sebagai perempuan, saya merasakan pertanyaan kapan menikah yang ditujukan kepada kami mendapatkan beban yang lebih melelahkan dibandingkan laki-laki. 

Entah pembahasan berujung pada bahaya melahirkan di usia 35 tahun atau soal perempuan kalau sudah berumur tak akan laku-laku serta segala pernyataan yang tidak menyenangkan tentunya. 

Paling menyebalkan adalah menganggap sebagai aib dalam lingkungan sosial. Iya ini terjadi bagi sebagian budaya masyarakat Indonesia. Seolah-olah tidak menikah atau tertundanya pernikahan adalah semacam melanggar norma sosial yang tidak tertulis. 

Desakan pertanyaan yang mengharuskan untuk melewati fase pernikahan pada kenyataan membuat saya akhirnya berada di titik enggan dan malas untuk berusaha menuju pernikahan. 

Jangan memaksa kami melakukan sesuatu diluar kemampuan. Ingat, syarat utama dari sebuah pernikahan adalah menemukan pasangan yang tidak bisa disetujui begitu saja. Dan, hal tersulit dari keputusan untuk menikah adalah menemukan pasangan tentunya. 

Ada banyak pertimbangan untuk menemui kehidupan menyenangkan saat akhirnya memutuskan untuk menuju pernikahan. Bahwa sejati pernikahan tidak saja soal pasangan yang satu frekuensi, tapi juga yang memiliki visi menentukan hidup seperti apa ingin di tujuan. 

Jadi nggak nyapres aja punya visi dan misi, tapi pernikahan juga lho!

Jawaban dari Pertanyaan Kapan Nikah?

Ilustrasi : Dibutuhkan komitmen dalam pernikahan (sumber foto: Freepik/freepic.diller)
Ilustrasi : Dibutuhkan komitmen dalam pernikahan (sumber foto: Freepik/freepic.diller)

Hampir satu dekade dibombardir oleh pertanyaaan kapan nikah, yang awalnya jungkir balik dengan berbagai ragam emosi, dan pada akhirnya berujung pada sikap legowo, inilah ide jawaban yang bisa jadi referensi buat teman-teman yang saat ini ada di posisi serupa : 

Doakan saja secepatnya, ini adalah jawaban yang paling sopan seraya tersenyum manis. 

Bapak/Ibu ada calonnya, boleh dikenalkan kepada saya.

Sabtu kalau nggak Minggu.

Ibu atau Bapak kapan setajir Raffi Ahmad ? Jangan dipraktikan kalau tidak ingin kedamaian hubungan sosial retak.

Ibu atau bapak, kapan meninggal? sama seperti alasan diatas jangan dipraktikan kalau masih ingin hidup damai di lingkungan sosial. Yah, meskipun kita tahu bahwa kelahiran, jodoh, rezeki dan kematian sudah diatur oleh Allah termasuk pernikahan tentunya tapi tetap aja iseng nanya soal kapan nikah. *eh 

Alih-alih dipusingkan oleh pertanyaan orang-orang soal menikah, yang dapat dilakukan adalah memperbaiki diri menjadi pribadi yang produktif dan bermanfaat bagi diri sendiri, orang lain dan lingkungan, bukan?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun