Terkadang pertanyaan kenapa belum menikah atau tidak menikah diikuti oleh pernyataan yang sungguh menyakitkan seperti :
“Itulah kenapa milih-milih. Apa lagi yah dipilih?”
“Kriterianya nggak usah ketinggian,“
“Makanya jangan sekolah tinggi - tinggi,“ , …
Narik napas dulu mengingat pertanyaan lainnya soal desakan untuk menikah. Duh, disangka lagi main pentas drama sekolah kali yah, bisa semudah itu.
Sebagai perempuan, saya merasakan pertanyaan kapan menikah yang ditujukan kepada kami mendapatkan beban yang lebih melelahkan dibandingkan laki-laki.
Entah pembahasan berujung pada bahaya melahirkan di usia 35 tahun atau soal perempuan kalau sudah berumur tak akan laku-laku serta segala pernyataan yang tidak menyenangkan tentunya.
Paling menyebalkan adalah menganggap sebagai aib dalam lingkungan sosial. Iya ini terjadi bagi sebagian budaya masyarakat Indonesia. Seolah-olah tidak menikah atau tertundanya pernikahan adalah semacam melanggar norma sosial yang tidak tertulis.
Desakan pertanyaan yang mengharuskan untuk melewati fase pernikahan pada kenyataan membuat saya akhirnya berada di titik enggan dan malas untuk berusaha menuju pernikahan.
Jangan memaksa kami melakukan sesuatu diluar kemampuan. Ingat, syarat utama dari sebuah pernikahan adalah menemukan pasangan yang tidak bisa disetujui begitu saja. Dan, hal tersulit dari keputusan untuk menikah adalah menemukan pasangan tentunya.
Ada banyak pertimbangan untuk menemui kehidupan menyenangkan saat akhirnya memutuskan untuk menuju pernikahan. Bahwa sejati pernikahan tidak saja soal pasangan yang satu frekuensi, tapi juga yang memiliki visi menentukan hidup seperti apa ingin di tujuan.