Mohon tunggu...
Eka Fitriani
Eka Fitriani Mohon Tunggu... Guru - A Javanese

A student of English Education Study Program,Universitas Jambi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hujan Uang

2 Desember 2019   10:21 Diperbarui: 2 Desember 2019   10:31 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tapi sayangnya ia lupa bahwa Tuhan Maha Mendengar.

Herman bangkit dari duduknya yang sudah hampir 2 jam, hendak pulang ke kostan sempitnya. Tapi tak lama, tiba-tiba mendung mulai berarak. Dalam sekejab siang hari yang baru saja diocehi Herman karena teriknya, menjadi gelap dan mengerikan. Tapi, bukan Herman namanya kalau tidak merutuki berbagai kondisi.

"Aish, benar-benar. Tadi panas bukan main, sekarang malah mau hujan angin. Lengkap sekali alam mengejekku."  Herman memasang muka kesalnya, kemudian segera mengambil langkah mencari tempat terdekat untuk berteduh.

Hal yang sama dilakukan para pengunjung taman yang lain, mereka berlarian-berteduh.

Herman dan beberapa pengujung taman yang tidak sempat pulang sebelum hujan, terpaksa berteduh di sebuah pendopo besar ditengah taman. Pendopo itu biasanya dipakai sebagai tempat diskusi para mahasiswa atau perusahaan kecil yang sedang mengadakan lokakarya.  Tapi disaat hujan, tentu saja pendopo itu menjadi tempat berteduh yang sempurna.

Angin mulai berhembus kencang, dedaunan pohon-pohon taman mulai beterbangan. Herman melingkarkan tangannya di depan dada, hawa di sini mulai dingin, seperti akan ada badai.

Kklotak...klotak...ting..ting...

Herman dan beberapa orang disana memasang wajah terkejut, saling berpandangan sebelum kemudian mengecek keluar. Suara hujannya terlalu asing bagi mereka.

Benar saja, itu bukan hujan air, melainkan hujan uang. Mulanya hanya uang recehan kemudian disusul uang-uang kertas berbagai nominal. Benar-benar mengejutkan!

Beberapa orang mulai berebut keluar dari pendopo itu. Begitu di luar mereka segera meraup sebanyak yang mereka bisa ambil, tak terkecuali Herman. Ia sempat merasa terkejut untuk sesaat dan membatin "Bagaimana bisa?" tapi detik berikutnya ia tak memikirkannya lagi. Baginya ini adalah kesempatan emas. Bukan. Kesempatan uang.

Sejak hari itu, segalanya berubah drastis. Berita tentang telah terjadi hujan uang di daerah Herman menyebar dengan cepat seperti banjir. Berbondong-bondong orang dari segala penjuru datang kesana, berharap mereka tidak akan melewatkan hujan uang berikutnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun