Mohon tunggu...
Eka Fatikhul Firdausi
Eka Fatikhul Firdausi Mohon Tunggu... Penulis - Akademisi Psikologi

Fasilitator di Forum Psikologi BISA (Best In Social and Academy)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Orang Psikologi Bisa Membaca Pikiran? Begini Penjelasannya

15 September 2018   12:51 Diperbarui: 15 September 2018   20:31 3130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rumor

"Kuliah di jurusan apa?"

"Psikologi"

"Wah, berarti kamu bisa baca pikiranku dong?, baca karakterku dong...,masa depanku bagaimana ya?"

Kalimat di atas, mungkin terdengar familiar dan tidak asing, bagi mereka yang menggeluti profesi pendidikan atau keilmuan di bidang psikologi.

Masyarakat awam, biasanya akan menganggap dan melabeli akademisi psikologi, memiliki kemampuan untuk bisa membaca pikiran.

Benarkah rumor tersebut?

Begini penjelasannya

Fakta

Akademisi psikologi sejatinya tidak ada yang bisa membaca pikiran orang. Hal-hal yang bisa mereka lakukan hanya sebatas memahami apa yang terjadi pada orang lain, melalui interprestasi tingkah laku yang muncul dari orang tersebut.

Analogi memahami, bisa dicontohkan dengan perumpamaan, seorang akademisi psikologi bisa menyimpulkan bahwa seseorang yang berada di hadapannya, pikirannya sedang berada di tempat lain.

Kesimpulan ini lahir atas dasar pengamatan dari orang tersebut, di mana perilakunya mengarah pada kesimpulan itu. Misal, pandangan orang itu tidak fokus, sering melihat ke arah lain, posisi badan sering berubah-ubah, kaki dan tangan melakukan perubahan gerakan yang menandakan kegelisahan. Berdasarkan tingkah laku yang muncul itu, sehingga bisa ditarik sebuah kesimpulan, bahwa orang tersebut sedang memikirkan hal lain, di luar keadaan yang sedang terjadi.

Renungan

Bahasa 'membaca' berbeda dengan 'memahami'. Bahasa membaca memiliki arti judgement yang mengandung nilai mutlak, sedangkan memahami tidak memiliki isyarat judgement, dan tidak pula bersifat mutlak. Bahasa memahami lebih membutuhkan klarifikasi atau konfirmasi.

Menggunakan bahasa membaca, jika diterapkan pada kasus yang sama, mungkin orang itu bisa langsung mengatakan bahwa orang yang berada di hadapannya, pikirannya sedang berada di tempat A. Dia bisa langsung tahu, tidak butuh konfirmasi atau klarifikasi dari orang yang bersangkutan.

Agar lebih mudah untuk membedakan penggunaan bahasa membaca dan memahami, anda bisa menyimak contoh dialog berikut:

Misal seorang akademisi psikologi sedang berhadapan dengan seseorang, di situasi wawancara.

Contoh dialog jika menggunakan bahasa bisa membaca pikiran orang lain, maka akademisi psikologi itu akan mengatakan kalimat ini, "Pikiran anda tidak ada di sini, pikiran anda sedang berada di Rumah Sakit Bhayangkara Jakarta"

Contoh dialog menggunakan bahasa memahami, maka akademisi psikologi tidak akan menggunakan bahasa yang bermuara pada nilai judgement, mereka biasanya akan menggunakan gaya bahasa yang mengarah pada ranah konfirmasi atau klarifikasi, setelah menginterpretasi seseorang.

 Interpretasi itu bisa bersumber dari bahasa tubuh, mikro ekspresi, atau intonasi suara, sehingga biasanya mereka akan menuturkan kalimat seperti ini, "apakah anda sedang ada masalah? apakah anda baik-baik saja? apakah keluarga anda sehat semua?"

Berdasarkan contoh di atas, dapat disimpulkan bahwa seorang akademisi psikologi tidak bisa membaca pikiran orang lain, mereka tidak bisa secara serta-merta menebak suatu keadaan. Akademisi psikologi hanya bisa belajar untuk memahami apa yang sedang terjadi pada orang lain. Berbekal dengan pengalaman dan pengetahuan yang dipelajari di bidang psikologi, maka seseorang itu hanya bisa meraba-raba atau memperkirakan suatu keadaan.

Ilmu Psikologi hanyalah jembatan, alat, atau bekal yang menjadikan seseorang untuk bisa memahami suatu keadaan secara utuh. Semuanya dilalui dengan proses, tidak bisa instan. Psikologi itu seperti perekat bagi gelas yang sudah pecah. Ibarat gelas yang sudah pecah dan tercerai-berai, maka untuk melihat wujud gelas itu dibutuhkan perekat, dibutuhkan tangan-tangan terampil untuk dapat mengumpulkan kepingan-kepingan gelas itu, dan di situ lah psikologi berperan.

Ilustrasi Paranormal/Dukun-sumber foto:ciricara.com
Ilustrasi Paranormal/Dukun-sumber foto:ciricara.com
Jadi, mulai sekarang, berhentilah untuk mengatakan bahwa akademisi psikologi itu bisa membaca pikiran, karena ketika anda mengatakan hal tersebut, maka sama saja dengan anda melabeli akademisi psikologi seperti layaknya seorang dukun.

Ada hal yang perlu anda ketahui, ketika anda melabeli akademisi psikologi itu bisa membaca pikiran, biasanya mereka ada yang merasa geli dan lucu, karena akademisi psikologi tidak se-SAKTI yang anda bayangkan, tapi ada juga yang merasa berat atau risih, karena anda menginterpretasikan mereka secara berlebihan.

Pesan saya untuk para akademisi psikologi, ingat dan berhati-hatilah ketika anda mengutarakan sebuah statement, jangan sampai melahirkan sebuah judgement negatif. Jangan lupa untuk tetap memegang erat asas kerahasiaan dan kode etik psikologi.

Pesan saya untuk para non-akademisi psikologi, anda tetap bisa memberdayakan para akademisi psikologi untuk sekedar mencari solusi, atau membantu memecahkan masalah hidup yang sedang anda alami, tapi ingat, mereka bukan dukun, mereka juga bukan paranormal, mereka memiliki keterbatasan, tapi setidaknya keberadaan akademisi psikologi, bisa menjadi wadah sumber inspirasi bagi anda.

"Setiap orang terlahir dengan potensi yang berbeda. Setiap orang memiliki kekurangan dan kelebihan. Kita hidup bersama, artinya kita tidak bisa hidup sendiri. Kita bisa belajar menjadi pribadi yang mandiri, tapi tetap saja, kita butuh orang lain. Belajarlah untuk tetap hidup. Hidup yang bukan hanya sekedar hidup, tapi belajarlah untuk hidup agar bisa saling mengasihi dan membantu sesama."


Semoga Harimu Indah

Semoga Masa Depanmu Cerah

Semoga Tulisan Ini Bermanfaat

***

Penulis : Eka Fatikhul Firdausi
Tentang Penulis : *Penulis berprofesi sebagai Fasilitator di Forum Psikologi BISA dan Founder Rumah Konseling Indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun