Mohon tunggu...
Eka Elliana
Eka Elliana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hallo saya Mahasiswi Program Studi Perbankan Syariah

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Maraknya Pernikahan Dini Apakah Bisa Menjadi Penyebab Kemiskinan Struktural di Indonesia?

15 Desember 2023   22:42 Diperbarui: 15 Desember 2023   22:48 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kemiskinan selalu menjadi masalah di setiap negara di dunia, tidak terkecuali.di Indonesia. Meskipun berbagai kajian dan penelitian telah dilakukan, namun definisi yang baku tentang.kemiskinan sulit ditemukan. Penyebab kemiskinan bermuara.pada teori lingkaran kemiskinan (vicious circle of poverty) dari (Nurkse, 1953).Teori lingkaran kemiskinan didefinisikan sebagai suatu rangkaian siklus yang memiliki kekuatan dalam mempengaruhi satu sama lain sehingga tercipta suatu keadaan dimana suatu masyarakat akan tetap miskin dan terus mengalami.banyak kesulitan dalam mencapai tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi.

Teori ini menyebut bahwa negara-negara sedang berkembang itu miskin dan tetap miskin, karena produktivitasnya rendah. Rendahnya produktivitas mengakibatkan rendahnya upah yang diterima masyarakat tersebut, sehingga masyarakat hanya dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minim. Sebab hal inilah mereka tidak dapat menabung ataupun berinvestasi, padahal kedua hal tersebut ialah sumber penguatan modal dan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan data Indonesia Family Life Survey-5 (IFLS-5) pada penelitian ini dari 1.085 responden, 45% rumah tangga memiliki penghasilan yang rendah dimana penghasilan mereka berada dibawah garis kemiskinan Nasional tahun 2014 (Rp 312.328/bulan).

Beberapa hal yang dapat menekan produktivitas diantaranya ialah pernikahan yang dilangsungkan sejak dini, putusnya pendidikan, perceraian, dan gender. Menurut (UNICEF, 2001), Pernikahan dini adalah pernikahan pada usia anak-anak atau pada usia sebelum mencapai delapan belas tahun sering disebut sebagai salah satu patologi sosial yang menyebabkan kemiskinan atau memperparah kemiskinan. Pada beberapa kasus pernikahan yang dilakukan sejak dini disebabkan karena orang tua merasa bahwa anak mereka merupakan beban ekonomi yang harus segera dilepas (salah satunya dengan dinikahkan), sehingga anak mereka dapat bertanggung jawab akan hidup mereka sendiri. Padahal hal ini dapat menekan produktivitas, karena anak tersebut belum mampu dalam memenuhi beban yang dipikul.

Indonesia sebenarnya telah menetapkan batas usia pernikahan. Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 telah menetapkan batas usia melangsungkan perkawinan adalah 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. Syarat usia perkawinan tersebut kemudian direvisi menjadi 19 tahun bagi lak-laki dan perempuan. Dasar perubahan tersebut adalah adanya kondisi bahwa perbedaan usia perkawinan menimbulkan ketidaksetaraan gender dan diskriminasi gender. Prof. Sonny memaparkan, pemerintah memberikan dispensasi bagi yang akan menikah di bawah usia 19 tahun.

Permohonan dispensasi harus diajukan ke pengadilan. Artinya, pasangan yang masih di bawah umur hanya dapat melakukan perkawinan setelah mereka memiliki penetapan dispensasi kawin dari pengadilan.Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa 33,76% pemuda di Indonesia mencatatkan usia kawin pertamanya di rentang 19-21 tahun pada 2022. Kemudian, sebanyak 27,07% pemuda di dalam negeri memiliki usia menikah pertama pada 22-24 tahun. Ada juga 19,24% pemuda yang pertama kali menikah saat berusia 16-18 tahun.Kalau dilihat berdasarkan jenis kelamin, usia menikah pertama pemuda laki-laki dan perempuan tentu aja memiliki perbedaan, dimana laki-laki cenderung memasuki usia pertamanya lebih tua dibandingkan perempuan.

Secara rinci, 35,21% pemuda laki-laki memiliki usia menikah pertama saat 22-24 tahun. Sebanyak 30,52% pemuda laki-laki mencatatkan usia menikah pertama saat berusia 25-30 tahun. Sedangkan, 37,27% pemuda perempuan memiliki usia menikah pertamanya pada 19-21 tahun. Lalu, 26,48% pemuda perempuan menikah pertama kali ketika berusia 16-18 tahun.

Tingginya angka pernikahan dini di Indonesia menjadi persoalan serius menghadapi Indonesia Emas 2045. Di tengah bonus demografi yang sudah mulai berjalan, pernikahan usia dini dapat menyebabkan sejumlah dampak negatif dan risiko. Berdasarkan analisa data perkawinan usia anak di Indonesia hasil kerja sama BPS dan United Nations Children’s Fund (UNICEF), ada berbagai dampak negatif yang dapat terjadi pada sebuah pernikahan yang dilakukan pada usia anak.

Dampak bagi anak perempuan: anak akan kehilangan hak pendidikan, hak untuk hidup bebas dari kekerasan dan pelecehan, hak kesehatan, hak dilindungi dari eksploitasi, dan hak tidak dipisahkan dari orangtua. Berkaitan dengan kesehatan,menikah di usia dini memiliki risiko kematian saat melahirkan yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita yang sudah cukup umur. Secara psikologis seperti cemas, depresi, bahkan keinginan untuk bunuh diri. Terakhir, pengetahuan seksualitas yang masih rendah meningkatkan risiko terkena penyakit infeksi menular seperti HIV.

Dampak bagi anak-anak: Belum matangnya usia sang ibu, mendatangkan konsekuensi tertentu pada si calon anak. Misalnya, angka risiko kematian bayi lebih besar, bayi lahir dalam keadaan prematur, kurang gizi, dan anak berisiko terkena hambatan pertumbuhan atau stunting.

Dampak di masyarakat: langgengnya garis kemiskinan, ini terjadi karena pernikahan dini biasanya tidak dibarengi dengan tingginya tingkat pendidikan dan kemampuan finansial. Hal itu juga akan berpengaruh besar terhadap cara didik orangtua yang belum matang secara usia kepada anak-anaknya. Pada akhirnya, berbuntut siklus kemiskinan yang berkelanjutan.

Profesor Muhadjir Darwin dari Universitas Gadjah Mada (UGM) menilai rentang umur itu masih dalam kategori usia anak. Konferensi internasional, kata dia, menetapkan usia di bawah 18 tahun masih tergolong anak-anak.

"Kalau dinikahkan sebelum dewasa, ada implikasi sosial yang akan menghantui, seperti retan trafficking, pendidikan, dan kemiskinan," ujar Profesor Muhadjir dalam sidang MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis (30/10/2014).

Ia menilai pernikahan anak ini erat kaitannya dengan faktor pendapatan. Tujuan penikahan semacam ini untuk membantu beban keluarga. Ia menyimpulkan, ada hubungan yang kuat antara pernikahan anak di bawah umur dengan kemiskinan. "Perkawinan anak bisa melanggengkan kemiskinan," papar dia.

Hal serupa juga diungkapkan Direktur Institut Kapal Perempuan, Misiyah. Ia mengatakan pernikahan di bawah umur dapat menutup akses pendidikan, khususnya pada perempuan. Pada akhirnya, kaum hawa hanya akan bekerja disektor informal dengan upah rendah dan rentan kekerasan. Mereka akhirnya berpotensi mengalami kemiskinan.

"Mereka akan menempati posisi kerja di sektor informal, seperti pelayan toko, pembantu rumah tangga, buruh tani, nelayan, buruh perkebunan. Upahnya antara Rp9.000 dan tidak lebih dari Rp20.000 dengan jam kerja panjang lebih dari 10 jam kerja," beber Misiyah.

Pernikahan dini dan kemiskinan struktural memiliki hubungan yang erat. Pernikahan dini dapat melanggengkan kemiskinan karena anak yang menikah pada usia dini cenderung tidak memiliki pendidikan yang cukup dan keterampilan yang memadai untuk memperoleh pekerjaan yang layak. Selain itu, pernikahan dini juga dapat menghambat pembangunan sumber daya manusia dan meningkatkan angka kematian ibu dan bayi.

Faktor-faktor penyebab pernikahan dini tidak hanya terkait dengan kemiskinan, tetapi juga faktor agama dan pandangan masyarakat yang menikahkan anak pada usia yang terlalu muda. Melihat kenyataan tersebut maka sudah selayaknya semua elemen bangsa baik pemerintah, tokoh masyarakat, agamawan, guru terutama orang tua, melakukan kerja-kerja nyata agar generasi muda kita tidak terjerembap dalam praktik pernikahan dini. Caranya dengan mengawasi secara lebih memadai, tetapi bijaksana dalam menyikapi pergaulan sosial anak-anak kita. Selain itu, pendidikan seks yang benar sejak dini di keluarga dan sekolah perlu diberikan agar anak-anak kita mengenali fungsi-fungsi organ genital mereka secara benar dan proporsional.

Selanjutnya perlu ditingkatkan sosialisasi dampak negatif dari pernikahan dini dengan menyertakan kasus-kasus riil dan fakta sosiologis di masyarakat terutama dampak dari pergaulan bebas. Selanjutnya kedepan anak-anak muda dapat meningkatkan kegiatan-kegiatan yang positif untuk mengasah minat dan bakat mereka. Peningkatan kualitas sumber daya manusia diharapkan dapat mengurangi angka perkawinan muda di Indonesia, sehingga para orang tua juga dapat memanfaatkan fasilitas pendidikan yang telah diberikan oleh pemerintah dan tidak putus sekolah.

Selain itu dapat diberikan dispensasi nikah. Maksud pemberian dispensasi nikah adalah oleh Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi yang beragama lainnya berdasarkan pada semangat pencegahan perkawinan anak, pertimbangan moral, agama, adat dan budaya, aspek psikologis, aspek kesehatan, dan dampak yang ditimbulkan.

Selain solusi hukum, sudah selayaknya seluruh elemen bangsa (pemerintah, tokoh masyarakat, tokoh agama, orang tua, guru dan dosen) melakukan kerja nyata untuk mencegah generasi muda kita terjerumus dalam praktik pernikahan dini.Selain itu, keluarga dan sekolah harus memberikan pendidikan seks yang memadai sejak dini agar anak-anak kita mengenal fungsi alat kelamin secara benar dan proporsional.

Dan terakhir adalah mengedukasi anak-anak tentang akibat dan dampak negatif dari pernikahan dini. Bagaimana mengintegrasikan kasus nyata dan fakta sosiologis ke dalam masyarakat. Namun, tidak semua orang tua mampu atau mau “secara terang-terangan” mengingatkan anaknya akan dampak negatif dari pergaulan bebas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun