Saka membuka pintu rumah tua peninggalan ayahnya, perlahan. Engsel pintu berderit, menggema dalam ruangan sunyi yang seolah menyimpan cerita pilu dari masa lalu. Aroma kayu jati yang telah berbaur dengan debu menyeruak masuk ke hidungnya, membawa gelombang kenangan yang deras menyapu ingatan.Â
Ruangan itu masih sama seperti 17 tahun yang lalu, tak tersentuh waktu. Meja kerja ayahnya yang megah berdiri dengan kokoh, seolah menjadi saksi bisu dari semua rahasia yang tersembunyi.
Saka teringat masa-masa sulit setelah kepergian ayahnya. Hari-hari di sekolah penuh dengan tatapan iba dan bisikan yang menyakitkan. Teman-temannya menjauh, takut terlibat dalam skandal keluarganya. Hanya satu sahabat, Arif, yang setia mendampinginya, selalu memberi dorongan dan kehangatan saat malam-malam menjadi terlalu sunyi.Â
Saka berjuang keras, menyeimbangkan beban emosional dengan tuntutan sekolah, bekerja paruh waktu untuk membiayai hidupnya sendiri. Namun, dalam kesunyian malam, ia memimpikan satu hal: membuktikan bahwa ia dan ayahnya tak bersalah.
Tatapan Saka tertumbuk pada foto pernikahan ayah dan ibu yang tak pernah dikenalnya. Senyum sang ibu yang lembut dan tatapan hangat sang ayah, kini hanya menjadi bayangan semu dari kebahagiaan yang tak sempat ia rasakan. Saka menghela napas panjang, merasakan sesak di dadanya saat kilasan momen-momen kecil bersama ayahnya mengalir.Â
Suara tawa ayahnya saat mengajarinya bermain bola di halaman belakang, saat mengelap luka di lututnya setelah terjatuh, hingga nasihat kerasnya di malam-malam penuh peluh belajar. "Ingat, Saka, di dunia ini, hanya mereka yang bertahan yang bisa menang," ayahnya berkata dengan suara tegas namun penuh kasih.
Namun, kenangan indah itu berakhir tiba-tiba.Â
Pemandangan mengerikan dari berita di televisi terputar ulang di benaknya -- ayahnya yang dituduh menggelapkan dana, difitnah oleh sahabat karib yang dibesarkannya dalam kepercayaan penuh. Sorot mata publik yang menghakimi, rasa malu dan ketidakadilan yang mengoyak hati Saka saat remaja, serta puncak duka ketika ayahnya meninggal di penjara dengan tubuh ringkih dan hati penuh luka. Suara malam sunyi yang pernah dihiasi tangisannya kini terasa bergetar dalam benaknya.
"Ayah, aku di sini," bisik Saka, seolah berharap gema suaranya menjangkau alam di seberang. Ia berjalan mendekati meja kerja itu, ujung jarinya menyentuh permukaannya yang dingin dan penuh goresan. Angin dari celah jendela menyelinap masuk, membawa aroma lembut bunga melati dari taman luar, aroma yang dulu selalu menyertai sore-sore bersama ayah.Â
Di atas meja, setumpuk kertas kuning tua menarik perhatiannya. Dengan hati-hati, Saka mengambil selembar dan mendapati dirinya terduduk, menggenggam pena tua milik ayahnya.
Di dalam hati, konflik berkecamuk. Rasa bersalah karena tak mampu menyelamatkan ayahnya bercampur dengan perasaan lega bahwa kini, keadilan telah ditegakkan. Setiap kenangan pahit yang dulu menahannya, kini berubah menjadi pijakan untuk melangkah lebih jauh.
Dia mulai menulis, kata demi kata yang mengguncang hatinya:
Dear Saka,
Terima kasih telah menjadi kuat 17 tahun ini. Akhirnya, perjuanganmu tidak sia-sia. Semua air mata, malam-malam panjang tanpa tidur, dan rasa sakit yang menyesakkan telah terbayar. Kini, kamu bisa berdiri di tempat ini, di mana dulu semua ketakutanmu bersemayam. Aku tahu, ayah pasti bangga denganmu.
Kamu telah membuat mereka membayar. Orang-orang yang disebut sahabat ayah, para pengecut yang menusuk dari belakang, kini merasakan pahitnya keadilan yang telah mereka rusak. Kamu berhasil membawa keadilan dengan tanganmu sendiri, dan lengkap dengan bunganya.
Aku tahu kamu sangat lelah. Kamu membawa beban yang jauh lebih berat dari yang seharusnya ditanggung seorang anak seusiamu dulu. Namun, kamu tidak pernah menyerah. Kamu mengingat kata-kata ayah yang keras, nasihat yang mungkin dulu kamu benci. Tapi kamu tahu, semua itu adalah fondasi yang membuatmu menjadi sosok yang tak bisa dihancurkan.
Setiap kali rasa putus asa hampir mematahkanmu, suara ayah kembali bergema di benakmu: "Saka, dunia ini keras, tapi kamu harus lebih keras darinya." Dan kamu membuktikan itu. Kamu bertahan, melawan malam-malam gelap tanpa harapan, hingga akhirnya cahaya kemenangan datang. Kamu terbang tinggi, membuktikan bahwa kamu adalah anak dari seorang pejuang.
Kini, semuanya selesai. Mereka sudah mendapat balasannya. Luka ayah telah terbalas, dan kamu sudah menemukan keadilan yang lama terpendam.
Terima kasih sudah kuat,
Saka
Saka menutup surat itu dengan tangan yang bergetar. Matanya berkaca-kaca, air mata mengalir pelan di pipinya. Sebuah senyum tipis muncul di wajahnya, tak ada rasa puas, hanya kelegaan. Di tengah ruangan yang sunyi, ia merasa seolah ayahnya tersenyum dari kejauhan, memberi isyarat bahwa perjuangan itu akhirnya selesai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H