Mohon tunggu...
Eka Dharma Saputra
Eka Dharma Saputra Mohon Tunggu... Lainnya - Kompasioner - ASN - Veterinarian

Bapak 2 anak yang ingin belajar dan berbagi manfaat lewat tulisan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cinta pada Pandangan Pertama

10 Oktober 2024   08:23 Diperbarui: 10 Oktober 2024   08:24 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Matahari mulai meredup, semburat oranye menghangatkan langit senja. Dari sudut jalan yang sepi, aku melihatnya untuk pertama kali. Sosok itu, yang kemudian aku ketahui bernama Raya, berdiri anggun dengan senyum lembut di wajahnya, memberikan makan pada kucing-kucing liar yang berkerumun di sekitar kakinya. Mereka mengeong riang, seolah sudah akrab dengan kebaikan hati perempuan itu.

Aku terpesona, bukan hanya karena kecantikan Raya, tetapi juga oleh kelembutan hatinya yang terpancar dari setiap gerak-geriknya. Cara ia mengulurkan tangan, meraih kepala seekor kucing berbulu hitam lalu mengelusnya dengan pelan, menggelitik perutnya, membuat hatiku berdebar. Tiap sentuhannya begitu lembut, seolah ia mengerti bahasa hati para kucing. Kucing-kucing itu, tak satu pun yang takut atau menjauh. Mereka justru mendekat, seakan mereka---seperti aku---takluk pada kehangatan yang Raya berikan.

Sejak pertemuan itu, aku tidak bisa berhenti memikirkannya. Setiap hari, aku kembali ke tempat yang sama, mengintai dari kejauhan, menunggu momen saat Raya muncul dengan kantong plastik penuh makanan untuk kucing-kucing liar. Dari jauh, aku bisa mencium aroma makanan kucing yang khas. Bukan makanan mahal, tapi cukup untuk membuat para kucing berkerumun.

Langkah kaki Raya ringan, setiap kali dia datang, ada aura damai yang terbawa bersamanya. Aku bisa mendengar suara lembutnya ketika dia berbicara dengan para kucing, kadang memanggil mereka dengan nama-nama lucu yang ia ciptakan sendiri. "Hai, Si Gendut, makan yang banyak, ya," katanya pada seekor kucing berbulu abu-abu yang agak gemuk. Aku tersenyum dalam hati, melihat betapa perhatian dia pada mereka.

Awalnya, aku hanya berani melihat dari jauh, menyembunyikan diri di balik pohon atau tiang listrik. Rasa kagumku pada Raya terus tumbuh, begitu pula dengan keberanianku. Hari demi hari, jarak antara aku dan Raya semakin dekat. Dari sekadar mengintip dari balik semak-semak, hingga akhirnya aku berdiri hanya beberapa meter dari tempatnya duduk bersama para kucing.

Hati kecilku ingin mendekat, tapi setiap kali aku hendak melangkah, ada sesuatu yang menahan. Rasa takut ditolak, mungkin. Tapi di sisi lain, ada rasa penasaran yang tak terbendung---aku ingin tahu lebih banyak tentang dirinya. Tentang wanita yang bisa membuatku jatuh cinta hanya dengan melihat cara dia memperlakukan makhluk kecil seperti kucing.

Sore itu, aku memberanikan diri untuk lebih mendekat. Hanya beberapa langkah dari tempat Raya duduk, aku bisa merasakan kehangatan tubuhnya yang terpancar lembut. Ia sedang asyik bermain dengan seekor kucing berbulu putih yang meringkuk manja di pangkuannya. Aku duduk diam, menatapnya, menikmati setiap detik yang terasa begitu lambat tapi juga begitu sempurna.

Raya menoleh dan matanya bertemu dengan mataku. Jantungku berdebar keras, tapi anehnya, aku tidak merasa takut. Sebaliknya, senyuman yang dia berikan membuatku merasa diterima, seolah-olah kehadiranku sudah lama dinantikan.

"Halo, kamu ingin bermain bersama mereka?" suara lembutnya memecah keheningan. Aku menegang sesaat, tapi kemudian tersenyum kikuk. "Iya, mereka... menarik," jawabku sekenanya. Padahal, yang menarik bagiku bukan kucing-kucing itu, melainkan dia.

Raya tertawa kecil, suaranya seperti melodi indah yang menenangkan. "Ini Si Putih, dia agak pemalu, tapi kalau sudah kenal, dia sangat manja," ujarnya sambil mengelus kepala kucing di pangkuannya.

Aku menatap kucing itu, tapi mataku tak bisa lepas dari wajah Raya. Bagaimana bisa seorang wanita sebaik dan seanggun ini ada di dunia? Dari dekat, aku bisa mencium aroma segar dari tubuhnya, seperti bunga yang baru dipetik. Tangannya halus saat menyentuh kucing berbulu putih bersih itu, setiap gerakan lembut seperti tarian.

Setiap sore, aku kembali. Selalu di tempat yang sama, selalu pada jam yang sama. Raya selalu ada di sana, setia memberi makan kucing-kucing liar yang seakan sudah menjadi bagian dari hidupnya. Aku tidak pernah bosan melihat bagaimana dia tersenyum lembut setiap kali seekor kucing mendekat. Ada sesuatu yang begitu damai dalam kebiasaannya itu, membuatku merasa bahwa dunia ini tidak seburuk yang sering kurasakan.

Rasa cintaku semakin tumbuh, tapi bukan karena penampilan fisik Raya semata. Itu karena hatinya yang penuh kasih, caranya berbicara pada kucing-kucing itu seolah mereka adalah teman-teman lamanya. Dan dalam diam, aku mulai merasa bahwa aku pun telah menjadi bagian dari hidupnya, meski hanya sebagai pengamat dari jauh.

Suatu sore, saat aku duduk tak jauh dari Raya, seekor kucing kecil berwarna jingga mendekatiku. Awalnya, aku hanya mengawasi kucing itu dari sudut mataku. Namun, kucing itu tampaknya ingin berteman. Ia menyapaku dengan mengeong kecil, lalu perlahan-lahan mendekat hingga duduk di sampingku. Tanpa berpikir panjang, aku mengulurkan tangan dan mulai mengelus bulu halus di punggungnya.

Kucing kecil itu mendengkur pelan, tampaknya menikmati sentuhanku. Perlahan, kucing-kucing lain yang biasa bermain di sekitar Raya juga mulai mendekatiku. Seekor kucing hitam dengan ekor melengkung bermain di kakiku, sementara seekor kucing belang-belang mulai menggigit ringan jariku. Tiba-tiba aku merasa seperti bagian dari dunia kecil yang diciptakan Raya untuk para kucing ini.

Raya, yang sedang memerhatikan dari dekat, tersenyum lembut. "Wah, kamu cepat sekali akrab sama mereka. Padahal kamu baru di sini," ujarnya dengan nada bercanda. Matanya berkilat ceria, memperlihatkan betapa senangnya dia melihat kucing-kucing itu nyaman di dekatku.

Aku hanya tersenyum malu, hatiku melonjak gembira mendengar pujian darinya. Rasa hangat menyelimuti dada. Bukan hanya karena aku berhasil mendekati kucing-kucing itu, tapi juga karena Raya melihatku. Dia benar-benar memperhatikan. Untuk pertama kalinya, aku merasa seolah-olah ada tempat untukku dalam hidupnya, meski hanya dalam lingkaran kecil ini bersama kucing-kucingnya.

Hari demi hari, interaksi kecil ini semakin mengikatku pada Raya dan pada kucing-kucing liar di tempat itu. Ada koneksi mendalam yang terbentuk tanpa kata-kata.

Sore itu, seperti biasa, aku dan Raya sedang duduk di tempat favorit kami---tepat di sudut taman, di mana pepohonan memberikan keteduhan bagi kucing-kucing liar yang datang silih berganti. Hari ini sedikit berbeda, karena aku tak lagi sekadar mengamati dari jauh. Aku sekarang berada tepat di samping Raya, ikut bermain dengan kucing-kucing yang mengelilingi kami.

Seekor kucing jingga kecil berlarian di antara kaki Raya, berusaha memanjat pangkuannya. Raya tertawa kecil, tangannya yang lembut mengelus bulu kucing itu dengan penuh kasih sayang. Di sampingnya, aku duduk tenang, merasakan kehangatan yang memancar dari tubuhnya.

Saat itu, dunia terasa begitu damai. Angin berembus lembut, membawa aroma rumput dan dedaunan, sementara suara para kucing yang mengeong kecil-kecil mengisi udara sore. Aku merasa sangat nyaman berada di sisinya, seolah-olah momen ini bisa bertahan selamanya.

Tanpa disangka, Raya berhenti sejenak dari kegiatannya mengelus kucing yang dia beri nama Luna dan menatapku sambil tersenyum lembut. "Loh, aku baru sadar... aku belum pernah kasih nama buat kamu," ujarnya sambil mengerutkan alis, seakan berpikir keras. "Padahal, kamu udah sering makan bareng mereka, ya?"

Raya perlahan mengangkat tubuhku dan meletakkanku di pangkuannya dengan penuh kelembutan. Tangannya yang hangat mengusap lembut kepalaku, membuatku merasa nyaman dan aman di dekapannya. "Kamu tahu nggak," katanya sambil tersenyum, "bulu kamu lebat sekali, kayak singa kecil." Dia tertawa pelan, lalu menatapku dengan mata ceria. "Aku panggil kamu Leo, ya? Karena kamu mirip singa." Namaku kini Leo, dan dalam pelukannya, aku merasa seperti raja kecil di dunia kami yang sederhana, di mana setiap sentuhan dan kata-kata darinya membuatku merasa begitu istimewa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun