“Dia bahagia di sini?” tanya Badai saat mereka berdiri di dermaga kecil.
“Aku tidak tahu pasti. Tapi aku melihat ada perubahan antara saat dia pertama datang dan setelah kami berteman.”
“Kalian dan laut ini membuatnya bahagia.”
“Semoga saja begitu. Oh iya Taufan paling bersemangat jika bercerita tentangmu. Dia sangat memuja dan mengidolakanmu.” Badai tersenyum. Wulan kemudian menanyakan tentang Papa dan Mama.
“Mereka sangat terpukul. Terutama Papa.”
“Taufan berusaha menuruti keinginan papanya. Selain tidak ingin melihat mamanya menderita dan bersedih terus, juga karena nasihat dari Baruna.”
“Rupanya Baruna berpengaruh banyak terhadap hidup Taufan.”
“Sepertinya seperti itu.”
Badai bercerita kalau dia menemukan baju bernoda darah dalam plastik di lemari Taufan, dia menanyakan tentang keberadaan baju tersebut dan Bayu menceritakan tentang perkelahian Taufan dan Baruna dengan para preman pasar dan baju tersebut adalah baju Taufan yang terkena darah Baruna.
“Taufan menyimpannya?!” Wulan nampak tidak percaya. Badai mengatakan atas kehendaknya baju tersebut akhirya dia bakar.
“Lebih baik baik memang begitu,” ujar Wulan, lalu dia merogoh saku celananya dan mengambil handphone milik Taufan. “Ini milik Taufan, terjatuh saat dia pingsan. Aku lupa mengemabalikannya.”