“Kami bahagia di jalan kami Pa!”
Mama yang mendengar dibalik pintu belakanng menangis mendengar percakapan keduanya. “Andai Taufan masih berada di sini. Dia pasti bahagia,” batin Mama.
***
Sekar pulang ke rumah. Gadis cantik itu menangis di kamarnya. Dia benar-benar tidak menyangka kalau ciuman yang diberikannya kepada Taufan adalah ciuman pertama dan terakhirnya.
Di tempat lain, Wulan berdiri di atas dermaga kecil. Matanya memandang ke laut lepas yang gelap, bayangan-bayangan Taufan dan Baruna memenuhi benaknya, hingga tak terasa bulir-bulir air mata menetes di kedua pipinya.
Syamsul yang akan berangkat melaut memandangi ruangan kapalnya. Dia teringat bagaimana Taufan dan Baruna ikut kapalnya dan membantunya mencari ikan.
Kakek sedang memandangi kamar yang pernah ditempati baik oleh Baruna dan Taufan. “Kalian pergi dengan begitu cepat padahal kalian masih sangat muda,” ucap kakaek, lalu pergi meninggalkan kamar tersebut.
***
Siang hari yang sedikit berawan. Lima hari setelah Taufan dimakamkan. Wulan berdiri di pantai, matanya menatap jauh ketengah laut lepas. Masih segar dalam ingatannya suasana pemakaman Taufan. Mama yang menangis dalam rangkulam Papa dan laki-laki yang mirip Taufan, Lintang yang menangis dalam pelukan Bayu, Sekar yang sebentar-sebentar mengusap air matanya. “Wulan?” seseorang menyebut namanya. Gadis manis itu menoleh, dilihatnya seorang laki-laki berdiri disampingnya. “Laki-laki ini yang memeluk mamanya Taufan saat di pemakaman,” benaknya.
“Kamu Wulan, temannya Taufan?” Wulan menganggukkan kepala. “Aku Badai!”
“Jadi! Kamu kakaknya Taufan?” Laki-laki itu mengangguk sambil tersenyum. “Kamu akhirnya pulang?”