“Bagaimana dengan dia? Apa dia tidak menyukaimu. Aku rasa kamu cukup tampan. Setiap perempuan pasti akan menyukai dan tertarik padamu!”
Baruna tertawa. “Wulan tidak mungkin menyukaiku!”
“Kenapa?!”
“Apa kamu tidak mendengar bagaimana dia menyebutku? ‘Anak bengal’! Aku bukan tipe laki-laki yang disukainya. Dia menyukai laki-laki yang sopan dan alim.”
“Oh yah?!” Baruna kemudian bercerita tentang Wulan yang pernah menyukai anak seorang ustadz di kampungnya yang bernama Iqbal, orangnya tampan, pintar alim dan lulusan pesantren. Namun tiga bulan yang lalu Iqbal menikah dengan anak seorang kyai dari Tasik, teman dari ayahnya, karena dijodohkan. “Wah, kasihan si Wulan. Dia pasti patah hati.”
“Itu pasti! Dia sempat protes dengan berkata ‘apa anak seorang ustadz harus berpasangan dengan anak ustadz juga! Memangnya ada hukum yang melarang anak ustadz berdampingan dengan anak seorang nelayan! Apa kalau bukan anak ustadz berarti dia tidak tahu apa-apa tentang agama dan kitab suci! Apa karena aku tidak memakai kerudung maka aku dianggap pendosa dan hina!’ Dia berkata di depanku!”
“Lalu kamu menghiburnya?”
“Tidak! Jujur saja, aku tidak tahu bagaimana menghadapi seorang perempuan yang sedang patah hati dan emosi.” Baruna tersenyum. “Tapi Wulan bukan gadis yang lemah. Dia gadis yang kuat dan tidak cengeng. Aku malah mengatainya, ‘makanya jadi perempuan itu jangan judes dan galak, jadi tidak membuat laki-laki yang akan mendekatimu menjadi takut!“
Taufan tertawa. “Bagaimana tanggapannya?”
“Dia marah, melotot padaku lalu menendang kakiku dan langsung pergi!” Baruna tertawa.
“Hei anak Bengal! Kamu dan temanmu disuruh Kakek masuk!” teriak Wulan dari pintu rumah Kakek, dan tanpa menunggu jawaban dari Baruna langsung ngeloyor pergi.