29 Cincin
“Silakan masuk Ran,” kakak Bayu mempersilakan Khaerani untuk masuk ke rumah. Sementara ibunya Bayu sudah masuk terlebih dahulu.
“Iya Mbak.” Khaerani melihat rumah Bayu tidak banyak berubah. Warna cat dinding dan pagar rumah masih tetap berwarna hijau. Pot-pot tanaman hias masih tetap ada dan beberapa tanaman nampak lebih besar, tinggi dan rimbun. Pandangannya tertuju pada tanaman melati di depan teras yang bunga-bunganya nampak bermekaran. Pikiran Khaerani melayang ke sosok Bayu dan teringat akan perkataannya.
“Aku heran. Kenapa ibuku suka sekali dengan bunga melati, sampai ditanam di depan dan di belakang rumah.”
“Karena cantik dan wangi,” jawab Khaerani.
“Wangi memang. Tapi wangi kematian!” jawab Bayu.
Khaerani duduk di ruang tamu keluarga Bayu. Gadis itu tiba-tiba merasa ada seribu bayangan Bayu mengelilinginya. Memori tentang laki-laki yang sangat dicintainya itu seakan diputar kembali didepan matanya. Diperhatikannya foto keluarga Bayu yang terpasang di dinding, bapaknya, ibunya, kakak laki-lakinya, kakak perempuannya dan Bayu. Suara canda dan tawa Bayu tiba-tiba terngiang ditelinganya, juga senyum dan segala tingkahnya bermain dibenaknya.
“Silakan diminum, Ran,” suara kakak Bayu yang menyuguhkan minuman membuyarkan lamunan Khaerani.
“Terima kasih, Mbak. Jadi merepotkan.”
Kakak Bayu itu kemudian duduk di kursi di depannya. Ibunya Bayu muncul dari dalam sambil membawa sebuah kotak kecil bewarna hijau, duduk disamping kakak Bayu dan meletakkan kotak yang dibawanya di atas meja. Kebisuan sesaat terjadi diantara ketiga wanita itu. “Rani.” Ibunya Bayu membuka pembicaraan. “Ibu mau minta maaf atas sikap ibu selama ini terhadap kamu, Ran.” Wanita tua itu terdiam sesaat. “Apalagi kejadian saat akan pemakaman Bayu waktu itu.” Ibunya Bayu menghela nafas, sementara Khaerani nampak terdiam berusaha mengingat kejadian waktu itu. “Ibu terbawa emosi. Waktu itu, kamu pasti ingin sekali melihat Bayu untuk terakhir kalinya. Kamu pasti sangat sedih dan terpukul, sama seperti halnya kami semua.”
Khaerani merasa kedua bola matanya terasa panas dan mulai penuh oleh air mata. “Saat itu, saya ingin berlari, memeluknya dan mengatakan kalau saya sangat mencintainya dan ingin bersama dengannya selamanya.” Air matanya tak terbendung lagi, mengalir dikedua pipinya. “Saya juga minta maaf sama ibu, karena telah membuat hubungan ibu dan Bayu menjadi kurang baik.”
“Ibu yang salah, Ran. Ibu terlalu egois, tidak mengerti bagaimana perasaan Bayu. Bayu sangat menyukai dan mencintaimu. Dia menjelaskan bahwa bukan suatu kesalahan jika dia mencintaimu, yang dianggapnya sebagai perempuan terbaik dan sempurna untuknya. Kamu tahu, selama dia di rumah sakit provinsi itu, dia selalu menanyakan kamu, Rani.”
Khaerani menyeka airmata yang mengalir dikedua pipinya dengan punggung tangannya. “Saya sangat menyesal dan mungkin ibu juga tidak memaafkan saya, karena tidak bisa menjenguk dan mendampinginya disana. Tapi Bu, sejujurnya, saya ingin sekali berada disampingnya setiap waktu.”
“Ibu tahu. Saat itu ibu begitu marah sama kamu, karena satu-satunya perempuan yang sangat Bayu cintai tidak berada disampingnya sampai akhir hidupnya. Hingga akhirnya, kamu datang untuk melihatnya sebelum pemakaman, ibu menjadi sangat emosi. Tapi setelah itu ibu baru sadar, tidak mungkin kamu akan selalu menemani Bayu. Disamping jarak yang terlalu jauh, kamu juga pasti punya kesibukan sendiri bersama keluargamu. Sekali lagi, ibu minta maaf.”
“Kamu tidak marah dan benci lagi dengan kami kan, Ran?” sahut kakak Bayu.
“Saya tidak pernah marah ataupun membenci keluarga ini, Mbak.”
“Syukurlah kalau begitu. Dan, ibu sudah tidak marah lagi sama Rani, kan Bu?” Ibunya Bayu menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Wanita itu kemudian memegang kotak kecil diatas meja dan mendorongnya ke arah Khaerani sambil mengatakan kalau kotak kecil itu adalah miliknya dan mengatakan kalau benda didalam kotak kecil itu adalah benda berharga terakhir yang Bayu beli sebelum kesehatannya menurun dan harus dibawa ke Rumah Sakit di kota Provinsi. Khaerani tidak mengerti apa maksud dari perkataan ibunya Bayu tersebut.
“Ambillah, Ran,” kata kakak Bayu.
“Ambil dan bukalah,” kata ibunya Bayu.
Khaerani kemudian mengambil kotak kecil berwarna hijau tersebut dan membukanya dengan perlahan. Sebuah lipatan kertas kecil menutupi sebuah benda dibawahnya. Diambilnya lipatan kertas kecil tersebut, seketika hatinya langsung bergetar ketika melihat sebuah cincin emas putih bermata hijau. Kata-kata Bayu kembali terngiang ditelinganya.
“Untuk cincin yang sesungguhnya, cincin pernikahan, aku ingin memberimu sebuah cincin emas putih bermata hijau, sehijau bukit, sawah dan pepohonan desa ini.”
“Itu cincin yang dibeli Bayu sebelum kesehatannya menurun. Dia mengatakan kalau ingin melamarmu dengan cincin itu,” kata Ibunya Bayu. Airmata Khaerani kembali mengalir dikedua pipinya. “Bacalah tulisan yang ada dalam lipatan kertas kecil itu.”
Khaerani membuka lipatan kertas kecil yang berada ditangannya, terdapat dua baris tulisan.
cincin ini akan menemukan pemiliknya,
ketika sang pangeran memakaiannya dijari manis sang putri yang dicintainya
Ibunya Bayu mengatakan kalau dia menyimpan cincin tersebut setelah kematian Bayu. Kemudian akhirnya memutuskan untuk memberikannya kepada orang yang benar-benar Bayu ingin orang tersebut memilikinya, yaitu Khaerani. Tapi ada rasa gengsi masih tersimpan dalam hatinya. Sampai akhirnya mereka bertemu dimakam Bayu. “Maafkan Ibu, Rani. Karena telah menyimpannya terlalu lama. Tapi sekarang ibu sudah lega, karen cincin itu sudah berada ditangan orang yang berhak memilikinya. Kamu, Rani.”
Khaerani yang masih memegang kertas kecil tersebut tidak mengerti dengan apa yang baru saja diucapkan ibunya Bayu. “Saya tidak mengerti dengan ucapan ibu. Cincin ini masih milik Bayu, masih milik keluarga ini, karena Bayu belum memberikannya kepada saya.”
“Memang, cincin itu adalah milik Bayu. Tapi Bayu membelinya untuk kamu, Rani.”
“Tapi, Bu..”
“Ambillah. Kami tidak berhak memiliki cincin itu. Di alam sana, Bayu pun pasti menginginkan cincin itu berada ditangan kamu, pemilik yang sebenarnya. Dia pasti merasa senang, karena keinginan terakhirnya terlaksana, walaupun dia tidak bisa memasangkan sendiri di jarimu, seperti yang dia inginkan dan impikan.” Airmata Khaerani kembali mengalir dikedua pipinya. “Terserah cincin itu akan kamu bagaimanakan, Rani. Yang jelas, cincin itu sudah ditangan pemiliknya. Ibu tidak akan memaksa kamu untuk memakainya, karena itu akan membuat kamu terikat oleh bayangan Bayu. Tidak Rani. Kamu bebas. Kamu masih punya masa depan dan melanjutkan hidup kamu. Mungkin diluar sana ada laki-laki lain yang bisa menggantikan Bayu dihatimu, laki-laki dimasa depanmu.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H