Mohon tunggu...
Eka Dharmayudha
Eka Dharmayudha Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Pasca Sarjana Kajian Stratejik Ketahanan Nasional UI

Menyukai politik, sepakbola, dan menulis puisi. Kenal lebih dekat melalui instagram saya @ekadharmayudha

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Mengapa Terjadi Politik Dinasti?

17 Oktober 2023   20:08 Diperbarui: 18 Oktober 2023   15:19 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi- KOMPAS/Didie SW

Pasca putusan Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan syarat capres dan cawapres, istilah politik dinasti kembali mewarnai perbincangan publik di Indonesia. Putusan MK dianggap memuluskan langkah Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Jokowi, untuk maju sebagai Cawapres Prabowo Subianto. 

Presiden Jokowi dianggap mengintervensi keputusan MK agar mampu memuluskan permainan politiknya menuju berakhirnya masa jabatan presiden. Saat ini, Presiden menempatkan keluarganya dalam posisi-posisi politik yang tidak pernah mampu dibayangkan sebelumnya. 

Pertama, sang anak sulung sebagai Wali Kota Solo, lalu ada menantunya, Bobby Nasution, sebagai Wali Kota Medan, putra bungsu Presiden, Kaesang Pangarep, sebagai ketua umum PSI, hingga iparnya, Anwar Usman, sebagai Ketua MK. 

Capaian ini dianggap melampaui seluruh yang terjadi di pemerintahan orde baru Presiden Soeharto. Pada artikel ini, penulis tidak akan membahas mengenai apakah politik dinasti dibenarkan atau tidak, namun akan membahas mengapa politik dinasti sering terjadi di Indonesia, mulai dari politik nasional, hingga politik ditingkat terkecil masyarakat, yaitu RT.

Politik dinasti hanyalah sebuah gejala yang ditimbulkan dari kegagalan partai politik dalam melakukan kaderisasi yang baik. Fenomena seperti diusungnya artis sebagai kandidat adalah bukti bahwa partai gagal dalam membentuk jenjang karier politik di dalam partai politik itu sendiri. 

Partai politik tidak pernah melibatkan publik dalam seleksi kandidat yang hendak diusung. Seluruh kesepakatan terjadi, entah berdasarkan popularitas lembaga survei, ataupun deal-deal elite politik yang ada. 

Keadaan ini pada akhirnya mereduksi identitas partai politik, dan juga membiarkan pragmatisme politik terjadi dalam setiap momen pemilihan umum.

Salah satu mekanisme kaderisasi yang baik ditunjukkan oleh Partai Komunis China. Tidak akan istilah rising star dalam internal partai. Seluruh kader harus melewati proses kaderisasi yang panjang mulai dari pengabdian di tingkat desa hingga nantinya bisa bergabung di dalam komite pusat PKC. 

Selain itu, seluruh kandidat calon presiden yang diusulkan di dalam rapat besar partai, wajib untuk berpidato mempresentasikan gagasan politik, ekonomi, sosial, dan budaya, sesuai dengan ideologi partai dan negara, yang nantinya akan menjadi pertimbangan bagi seluruh kader partai yang diwakilkan untuk memilih satu di antara kandidat yang ada.

Di Amerika Serikat, terdapat mekanisme konvensi sebelum partai resmi mengusung kandidat tertentu sebagai calon kepala daerah ataupun presiden. Konvensi ini akan memperlihatkan kualitas dari kandidat yang akan diusung beserta gagasan yang akan dilakukan apabila terpilih sebagai pejabat publik. Di Indonesia, tidak ada mekanisme ini karena terhalang oleh ambang batas yang ada di dalam UU.

Berbeda dengan yang terjadi di partai politik Indonesia. Ketiadaan seleksi, konvensi, ataupun jenjang karier politik yang jelas di internal partai, menyebabkan pragmatisme menjadi satu-satunya cara untuk menaiki tangga politik yang lebih tinggi. 

Identitas partai politik menjadi pudar dan masyarakat dipaksa untuk melihat figur ketimbang identitas, gagasan, dan ide yang dibawa oleh partai politik. 

Di Indonesia, meski berasal dari partai yang mengusung nasionalisme, namun seluruh kebijakan justru berorientasi pada pasar bebas. Ini jelas merupakan bukti bahwa partai politik gagal menjadi pilar demokrasi yang baik dan melanggengkan politik feodal dan juga pragmatisme.

Kegagalan sistem kaderisasi partai ini berkorelasi terhadap budaya politik masyarakat Indonesia. Transisi menuju demokrasi yang ideal terhalang pada perilaku politik masyarakat yang masih pragmatis. 

Keadaan ini dilihat sebagai celah bagi partai politik untuk memanfaatkan situasi yang buruk menjadi keuntungan bagi elektoral partai politik. Politik dinasti akhirnya tumbuh dengan subur akibat dari jaringan dan modal finansial yang kuat sehingga cukup mudah untuk menciptakan kondisi masyarakat yang berpihak pada kandidat yang diusung oleh penguasa.

Penulis beranggapan bahwa politik dinasti bukanlah sebuah permasalahan mengingat undang-undang menjamin hak politik bagi seluruh warga negara. Namun yang harus digarisbawahi ialah kemampuan dari politik dinasti ini dalam mewujudkan kesejahteraan sosial. 

Pada banyak kasus, politik dinasti identik dengan praktik korupsi kekuasaan yang merugikan masyarakat. Oleh sebab itu, ke depannya perlu diatur dan diregulasi sistem kaderisasi partai politik yang tegas dan jelas sehingga memaksa setiap orang yang hendak berkarir di partai politik untuk berproses dalam koridor yang baik dan benar. 

Selain itu, partai politik harus melibatkan publik dalam pengusungan kandidat baik di eksekutif maupun legislatif sehingga terjadi peningkatan kualitas kader partai politik untuk merumuskan gagasan berdasarkan ideologi politik partai dan ideologi politik negara, dan masyarakat mampu menilai siapakah yang dianggap mampu menjawab seluruh permasalahan yang ada di masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun