Mohon tunggu...
Eka Dharmayudha
Eka Dharmayudha Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Pasca Sarjana Kajian Stratejik Ketahanan Nasional UI

Menyukai politik, sepakbola, dan menulis puisi. Kenal lebih dekat melalui instagram saya @ekadharmayudha

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Obat Kita Berbangsa Bernama Covid-19 (Bagian Pertama)

26 Maret 2020   23:37 Diperbarui: 26 Maret 2020   23:41 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada tahun 2020 ini, kita dikejutkan dengan sebuah virus yang telah ditetapkan menjadi pandemic global, yaitu Covid-19. Virus yang menjangkit ratusan ribu orang diseluruh dunia dan membunuh ribuan diantaranya ini pun oleh Presiden Jokowi ditetapkan sebagai bencana nasional pada awal bulan Maret yang lalu. Banyak kritik mewarnai langkah pemerintah dalam mengatasi pandemic ini.

Sejak bulan Januari hingga Februari, beberapa pengamat hingga pakar telah memperingati pemerintah mengenai bahaya penyebaran virus corona sehingga perlunya tindakan pencegahan. 

Namun peringatan tersebut direspons mengecewakan. Hampir sebagian besar dianggap sebagai guyon. Misalnya saja Menko Maritim dan Investasi yang menyamakan virus corona dengan mobil di batam, Menkopolhukam yang menganggap virus corona tak bisa masuk Indonesia karena perizinan yang sulit, hingga Menhub yang mengatakan corona tak bisa menjangkit masyarakat Indonesia karena hobi makan nasi kucing. Sialnya nama terakhir justru dinyatakan positif mengidap Covid-19. Sungguh ironis memang.

Selain dengan lelucon, beberapan kebijakan pemerintah juga tak efektif. Lihat saja ketika Presiden Jokowi mengambil kebijakan untuk memberikan insentif perjalanan wisata dan membayar influencer untuk menggembos pariwisata yang lesu akibat virus corona. 

Kebijakan ini akhirnya menjadi boomerang ketika himbauan untuk tinggal di rumah oleh pemerintah disikapi dengan berlibur oleh masyarakat Indonesia. Akibatnya tentu saja kita bisa lihat sendiri ketika laju penyebaran dan jumlah masyarakat yang terinfeksi meningkat sangat drastis per harinya.

Lunturnya Kepemimpinan Nasional pada Presiden

Saat penyebaran corona seolah-olah ditutup-tutupi oleh pemerintah pusat, Gubernur DKI Jakarta mengambil langkah mengejutkan dengan mengumumkan pemantauan terhadap orang-orang yang diduga Covid-19. 

Langkah ini membuat perseteruan politik antara pemerintah pusat dan DKI Jakarta menjadi tajam. Mungkin sisa-sisa Pilkada dan Pilpres masih menyelimutinya. 

Lebih lanjut, setelah akhirnya melalui berbagai penangkalan, Jokowi mengumumkan dua kasus pertamanya, yaitu warga asal Depok. Beredar kabar bahwa sebenarnya kedua orang ini telah lama dicurigai dan positif namun ada tekanan untuk tidak mengumumkannya. 

Saat ini, pemerintah memiliki gugus tugas nasional untuk penanganan Covid-19 yang dibentuk presiden sendiri untuk melaksanakan agenda penanggulangan Covid-19.

Beberapa minggu berselang, jumlah korban mengalami peningkatan drastis. Data terakhir menunjukkan hampir 800 lebih jumlah pasien positif yang tersebut dilebih dari 22 provinsi di Indonesia. Ditengah keadaan yang sulit ini, pemerintah pusat mengambil kebijakan untuk memusatkan seluruh penanganan di Jakarta. 

Artinya seluruh keputusan politik, medis, dan lain sebagainya, harus melalui pemerintah pusat. Pemerintah daerah menjadi kepanjangan tangannya saja. Termasuk pengumuman pelaporan pasien positif, sembuh, dan meninggal. 

Langkah ini tetap saja menjadi polemik. Beberapa kepala daerah yang daerahnya terdampak, mulai memberlakukan lockdown lokal. Bahkan Bupati Puncak Jaya Papua melakukan lockdown terhadap pintu masuk dan keluar wilayahnya tersebut. Kebijakan ini mendapat dukungan Gubernur Papua namun dipertanyakan oleh Mendagri.

Pada setiap kesempatan konferensi pers, Presiden hingga menteri-menterinya berulang kali menegaskan tak akan melakukan lockdown. Bahkan presiden pernah memberikan penegasan bahwa kepala daerah dilarang melakukan lockdown tanpa seijin pemerintah pusat. 

Secara undang-undang memang benar adanya, namun secara moral kekuasaan, ini tentu bisa memunculkan pertanyaan, mengapa banyak kepala daerah ingin memberlakukan lockdown tanpa seijin pemerintah pusat? 

Kini banyak pengamat lebih mengapresiasi langkah-langkah yang dilakukan kepala daerah dalam melakukan pencegahan dibandingkan dengan pusat. Bila terus terjadi saling "ambil panggung" bukan tidak mungkin akan terjadi kekacauan pola-pola kepemimpinan dalam penanganan pandemic ini.

Pentingnya Moral pada Kekuasaan

Pemerintah dibuat kesulitan dalam pencegahan terhadap Covid-19 akibat dari keengganan sebagian masyarakat Indonesia mengikuti himbauan yang dikeluarkan pemerintah. 

Himbauan berupa social distancing, tinggal di rumah, hingga larangan berpergian ke luar kota beberapa kali dilanggar oleh masyarakat Indonesia. Ini tentu menjadi permasalahan sendiri. 

Akibat dari pandemic ini, seluruh aktivitas orang dipaksa berhenti. Tidak hanya di Indoenesia tapi juga di seluruh dunia. Tentu banyak orang yang tidak siap untuk melakukan ini. 

Selain karena faktor kebiasaan, faktor ekonomi juga sangat berpengaruh. Ini bisa menjadi pertanyaan, apakah sanggahan-sanggahan dan juga lelucon-lelucon pemerintah saat sebelum status corona menjadi bencana nasional dianggap mengurangi moral pemerintah di mata rakyat sehingga ada rasa ketidakpercayaan penuh terhadap pemerintah?

Pentingya surplus moral menjamin rakyat untuk mematuhi setiap perintah demi kepentingan bersama. Surplus moral ini menjadi landasan dalam demokrasi guna memastikan terciptanya pemerintahan berdasarkan kerakyatan. 

Keadaan ini nampaknya tak dimiliki penuh oleh pemerintah Indonesia hari ini. Memang benar banyak juga toh masyarakat yang mematuhinya, tetapi kepatuhan itu apakah muncul memang karena kekuatan moral pemerintah, atau karena pandemic ini mengancam masing-masing individu tadi? (Mudah-mudahan bisa ada yang menganalisa fenomena ini suatu hari nanti) 

Momentum ini seharusnya dijadikan sebagai waktu bagi Presiden untuk menata kembali moral kepemimpinannya. Elemen-elemen demokrasi harus mulai dirangkul kembali dan menjadi tangan-tangan yang bergerak untuk bersama-sama mengatasi virus corona. 

Sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan di negara demokrasi, tidak ada yang bisa Presiden dilakukan sendirian (walau dengan para menteri itu pun disebut sendirian), ia membutuhkan kekuatan demokrasi yang menopang masyarakat dari akar hingga kalangan atas. 

Kekuatan ini yang akan menjamin moral kekuasaan Presiden dalam menghadapi wabah corona ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun