Mohon tunggu...
Eka Arief Setyawan
Eka Arief Setyawan Mohon Tunggu... Penulis - Desainer Grafis

Saya adalah seorang yang memiliki hobi desain grafis, menulis, menggambar, melukis, dan lain sebagainya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menerawang Masa Depan Negeri: Alam Semakin Sempit dan Petani Semakin Langka (Sebuah Esai)

14 November 2024   14:45 Diperbarui: 14 November 2024   15:37 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mari kita memulai diskursus ini dengan dua studi kasus. Studi kasus pertama; Beberapa jam sebelum esai ini ditulis, terdapat sebuah video reels Instagram yang menayangkan tips awal membangun rumah di tengah areal bekas persawahan.

Beberapa caranya pun disebutkan, seperti membayar jasa arsitek bersama RAB-nya, membeli pasir, hingga membangun tembok pagar lebih dahulu. Pada kolom komentar paling atas, terdapat respon salah satu warganet yang kurang lebih begini: "Tolong jangan menormalisasikan membeli tanah bekas sawah."

Statement itu direspon oleh beberapa warganet lain yang saling mempertanyakan apa alasannya, ternyata Si Pemantik mengatakan bahwa jumlah sawah sudah semakin habis demi pembangunan rumah. Diskusi pun diakhiri dengan kalimat oleh salah satu warganet lainnya: Pemilik tanah memiliki hak atas tanahnya, maka bebas untuk digunakan apa saja.

Studi kasus kedua; Catatan Najwa, sebuah acara berbasis YouTube yang dipandu oleh Najwa Shihab, sempat mengundang salah satu pasangan calon dalam Pemilihan Gubernur Daerah Khusus Jakarta (DKJ) 2024, Ridwan Kamil-Suswono. Terlepas dari dinamika politik akhir-akhir ini, terdapat satu bagian yang menyinggung soal pertanian dalam video berdurasi 51 menit tersebut.

Suswono, selaku calon wakil gubernur yang juga mantan Menteri Pertanian, mengatakan bahwa beberapa program kerja mereka akan berfokus pada agrikultur dan ketahanan pangan, salah satunya "menghidupkan" urban farming pada lahan-lahan terlantar di Jakarta, khususnya gedung-gedung pemerintah, yang tak lama lagi akan ditinggalkan sebab perpindahan ibu kota ke Nusantara.

Melalui dua studi kasus tadi, bisa kita tarik beberapa poin pentingnya; terdapat lahan pertanian yang "disulap" menjadi bangunan, dan di sisi lain, terdapat bangunan-bangunan yang justru "berupaya" dijadikan lahan pertanian. Jika menggunakan analisis jangka pendek, bisa saja hal itu dianggap untuk mempersiapkan inovasi baru pertanian masa depan, di tengah daratan yang terus menyusut oleh air laut serta tanah yang semakin tandus. 

Hanya saja, bangunan-bangunan yang beralih menjadi lahan pertanian, tak semasif perubahannya dibandingkan lahan-lahan pertanian yang telah dialihfungsikan sebagai rumah, perumahan, pabrik, proyek tambang, hingga proyek strategis Pemerintah yang sering dijuluki PSN.

Alam Semakin Sempit

Mengapa lahan pertanian yang "disulap" menjadi nonpertanian dianggap membahayakan kelangsungan tani di Indonesia? Bisa kita bayangkan, Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris, bahkan dianugerahi tanah yang subur untuk ditanami apa saja, tiba-tiba tak dapat memproduksi tanaman apa pun hanya karena tidak ada ruang untuk bercocok tanam.

Ruang tanam yang hilang pun sebetulnya beragam, tak hanya beralih fungsi sebagai perumahan atau pabrik saja. Mungkin dari berita atau fenomena yang pernah kita baca, banyak lahan persawahan yang kini berganti menjadi lahan kelapa sawit, proyek batu bara, pembangunan jalan tol, hingga lahan yang benar-benar "dimatikan" oleh pemiliknya karena tidak ada lagi yang mampu mengolah produk pertanian sebagaimana pendahulunya.

Tentu --- sebagaimana sanggahan salah satu warganet di atas --- pemilik tanah berhak melakukan apa saja atas tanahnya, termasuk tetap menjadikannya sawah, atapun mengalihfungsikannya ke dalam bentuk lain. Pun, ruang tanam yang "hilang" tak semasif yang kita bayangkan. Tetapi bagaimana nasibnya saat 100 tahun ke depan misalnya? Ketika lahan persawahan benar-benar tersisa sedikit, sementara jumlah masyarakat terus bertambah tiap tahunnya. Bukan tidak mungkin krisis pangan benar-benar dapat mengancam kita.

Ketika krisis pangan terjadi, bukan hanya cara makan kita yang berubah, tetapi fisik dan kemampuan berpikir tiap manusia akan ikut berubah. Masyarakat akan terus mengonsumsi makanan sintetis sebagai imbas bahan pangan organik yang semakin langka, sementara penyakit yang ditimbulkan juga semakin beragam.

Meski demikian, tak semua makanan sintetis berbahaya dan merugikan kesehatan. Terdapat beberapa penelitian yang mencoba menciptakan bahan pangan buatan, sebut saja seperti Beras Analog yang diciptakan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), serta daging sintetis yang dikembangkan oleh Willem van Eelen sejak 1999.

Beras Analog menawarkan bahan pangan berupa beras yang berasal dari jagung, ubi kayu, dan sagu. Sedangkan daging sintetis berasal dari teknologi sel mamalia yang dibiakkan melalui proses laboratorium, sehingga dikenal sebagai daging tanpa hewan.

Keduanya diklaim mampu memberikan nutrisi hampir menyamai bahan pangan aslinya, bahkan dianggap lebih sehat. Hanya saja, keduanya juga memiliki kesamaan, yakni diciptakan dalam rangka mengurangi ketergantungan pada bahan pangan aslinya, sehingga masih membutuhkan penelitian lebih lanjut, dan tidak dipersiapkan untuk menghadapi krisis pangan yang suatu saat bisa menerjang secara tiba-tiba.

Maka itulah, bisa kita simpulkan secara logika, bahwa Indonesia tak akan krisis pangan karena terkena badai salju, tetapi karena lahan pertaniannya yang semakin hilang dan tandus.

Petani Semakin Langka

Tak hanya alih fungsi lahan yang dapat menjadi bumerang bagi pertanian Indonesia di masa depan, tetapi fenomena itu juga diperparah dengan angka pelaku pertanian yang semakin berkurang. Hal itu dibuktikan dengan beberapa kasus generasi orang tua sebagai petani, tetapi anak mereka justru tak ingin melanjutkan pekerjaan/bisnis tersebut.

Atau terdapat fenomena lain juga, seperti lulusan "pertanian" di perguruan tinggi yang justru banyak mengisi jabatan dalam dunia perkantoran, seperti bank ataupun perusahaan swasta nonpertanian. Hal ini bahkan pernah disindir langsung oleh Presiden Joko Widodo saat Dies Natalis Institut Pertanian Bogor (IPB) ke-54 pada 2017. "Mahasiswa lulusan IPB banyak yang kerja di bank. Terus yang ingin jadi petani siapa?"

Hal ini dapat dipahami karena beberapa sebab, seperti pergeseran kecenderungan masyarakat generasi muda pada jenis pekerjaan, lalu pendapatan di dunia pertanian yang kurang memadai, hingga faktor eksternal seperti lahan yang beralihfungsi serta mahalnya bahan produksi pertanian.

Meski begitu, fenomena tersebut baiknya tak dianggap remeh, sebab ketika angka pelaku pertanian semakin berkurang, dampak domino bisa muncul, seperti industri pertanian dalam negeri akan merosot, lalu ketergantungan pada impor bahan pangan semakin tinggi, hingga krisis pangan yang suatu saat bisa menghampiri.

Belum lagi ketika krisis pangan juga ikut menyerang negara-negara lain, bukan tidak mungkin mereka lebih memilih untuk mengamankan pasokan bahan pangannya masing-masing, atau ketika peperangan tiba-tiba saja berkecamuk, maka jalur perdagangan dengan negara lain juga dapat terputus. Jika semua itu terjadi, maka hanya ada satu pertanyaan: Apakah kita siap menghadapi itu semua?

Mendobrak Tradisi "Baru" sebagai Solusi

Tentu belum hilang dari ingatan kita, ketika pandemi Covid-19 merebak di penjuru dunia, masyarakat "seolah" dipaksa untuk tetap beraktivitas meski hanya dari dalam rumah, termasuk kegiatan rapat atau diskusi. Di tengah bencana yang seolah meredam mobilitas manusia, sebuah inovasi pun muncul, yakni rapat/diskusi jarak jauh berbasis video call seperti Zoom Meeting dan Google Meet. Solusi itu dianggap sebagai masa peralihan menuju teknologi tanpa sekat, karena memudahkan manusia di seluruh dunia untuk saling berdiskusi, mengadakan rapat, hingga menciptakan konten media sosial.

Didasari fenomena itu, bukan tidak mungkin pada suatu saat, manusia akan kembali mengalami masa "transisi" pada bidang tertentu. Ketika sebuah aktivitas baru tiba-tiba lahir, sehingga "memaksa" aktivitas sebelumnya menjadi usang, kita pun --- mau tidak mau --- "dipaksa" beradaptasi agar mampu melakukan aktivitas baru itu dengan baik.

Maka itulah, kita tidak dapat memaksa masyarakat (khususnya generasi muda) agar tertarik bekerja di dunia pertanian, mengingat zaman telah banyak mengubah selera dan preferensi mereka. Tetapi salah satu solusi yang dapat ditawarkan adalah beradaptasi; baik beradaptasi untuk bertani dalam platform baru, atau beradaptasi dengan pertanian sebagai model bisnis baru.

Beradaptasi untuk bertani dalam platform baru memiliki beberapa contoh (meski sebetulnya tidak dianggap "baru" juga) seperti misalnya urban farming atau memanfaatkan bagian rumah untuk ditanami tumbuhan komoditas pangan, seperti cabai, terong, serta tomat, atau bisa menggunakan media pot seperti stroberi dan jeruk. Selain itu, kita juga mengenal hidroponik alias bertanam tanpa media tanah, hingga budidaya tumbuhan rambat sebagai "taman vertikal" pada bangunan dan gedung.

Sedangkan beradaptasi dengan pertanian sebagai bisnis baru, dapat diwujudkan seperti bisnis logistik bahan pangan berbasis daring dan berskala regional, lalu ekspor produk pertanian secara massal, seperti seperti sarang burung walet, pakan ternak, susu, kelapa, mentega, hingga biji kopi. 

Sebetulnya dua jenis bisnis tersebut sudah dimulai oleh beberapa orang atau perusahaan, hanya saja belum menjadi masif, karena belum banyak yang mengetahui peluang pada dua bisnis tersebut yang masih begitu luas, khususnya bidang ekspor, sehingga masih dimonopoli oleh negara tetangga seperti Thailand dan Vietnam.

Pada akhirnya, sudah saatnya generasi muda kita ikut memahami dan turut serta dalam membawa dunia pertanian ke arah yang lebih baik, sehingga ketika suatu saat kita menerawang masa depan negeri ini, kita tak akan dihadapkan dengan realita bahwa alam semakin sempit dan petani semakin langka, tetapi alam dapat diolah semakin luas, dan pelaku bisnis pertanian semakin banyak.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun