Ketika krisis pangan terjadi, bukan hanya cara makan kita yang berubah, tetapi fisik dan kemampuan berpikir tiap manusia akan ikut berubah. Masyarakat akan terus mengonsumsi makanan sintetis sebagai imbas bahan pangan organik yang semakin langka, sementara penyakit yang ditimbulkan juga semakin beragam.
Meski demikian, tak semua makanan sintetis berbahaya dan merugikan kesehatan. Terdapat beberapa penelitian yang mencoba menciptakan bahan pangan buatan, sebut saja seperti Beras Analog yang diciptakan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), serta daging sintetis yang dikembangkan oleh Willem van Eelen sejak 1999.
Beras Analog menawarkan bahan pangan berupa beras yang berasal dari jagung, ubi kayu, dan sagu. Sedangkan daging sintetis berasal dari teknologi sel mamalia yang dibiakkan melalui proses laboratorium, sehingga dikenal sebagai daging tanpa hewan.
Keduanya diklaim mampu memberikan nutrisi hampir menyamai bahan pangan aslinya, bahkan dianggap lebih sehat. Hanya saja, keduanya juga memiliki kesamaan, yakni diciptakan dalam rangka mengurangi ketergantungan pada bahan pangan aslinya, sehingga masih membutuhkan penelitian lebih lanjut, dan tidak dipersiapkan untuk menghadapi krisis pangan yang suatu saat bisa menerjang secara tiba-tiba.
Maka itulah, bisa kita simpulkan secara logika, bahwa Indonesia tak akan krisis pangan karena terkena badai salju, tetapi karena lahan pertaniannya yang semakin hilang dan tandus.
Petani Semakin Langka
Tak hanya alih fungsi lahan yang dapat menjadi bumerang bagi pertanian Indonesia di masa depan, tetapi fenomena itu juga diperparah dengan angka pelaku pertanian yang semakin berkurang. Hal itu dibuktikan dengan beberapa kasus generasi orang tua sebagai petani, tetapi anak mereka justru tak ingin melanjutkan pekerjaan/bisnis tersebut.
Atau terdapat fenomena lain juga, seperti lulusan "pertanian" di perguruan tinggi yang justru banyak mengisi jabatan dalam dunia perkantoran, seperti bank ataupun perusahaan swasta nonpertanian. Hal ini bahkan pernah disindir langsung oleh Presiden Joko Widodo saat Dies Natalis Institut Pertanian Bogor (IPB) ke-54 pada 2017. "Mahasiswa lulusan IPB banyak yang kerja di bank. Terus yang ingin jadi petani siapa?"
Hal ini dapat dipahami karena beberapa sebab, seperti pergeseran kecenderungan masyarakat generasi muda pada jenis pekerjaan, lalu pendapatan di dunia pertanian yang kurang memadai, hingga faktor eksternal seperti lahan yang beralihfungsi serta mahalnya bahan produksi pertanian.
Meski begitu, fenomena tersebut baiknya tak dianggap remeh, sebab ketika angka pelaku pertanian semakin berkurang, dampak domino bisa muncul, seperti industri pertanian dalam negeri akan merosot, lalu ketergantungan pada impor bahan pangan semakin tinggi, hingga krisis pangan yang suatu saat bisa menghampiri.
Belum lagi ketika krisis pangan juga ikut menyerang negara-negara lain, bukan tidak mungkin mereka lebih memilih untuk mengamankan pasokan bahan pangannya masing-masing, atau ketika peperangan tiba-tiba saja berkecamuk, maka jalur perdagangan dengan negara lain juga dapat terputus. Jika semua itu terjadi, maka hanya ada satu pertanyaan: Apakah kita siap menghadapi itu semua?