Mohon tunggu...
Eka Annisa
Eka Annisa Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Mengapa Seorang Anak Bisa Menjadi Pelaku "Bullying"?

16 Desember 2017   14:07 Diperbarui: 16 Desember 2017   14:16 1257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dunia pendidikan kembali berduka, dengan terjadinya kasus bullying 4 bulan lalu yang terjadi di Thamrin City dan di Univeristas Swasta Jakarta, tidak henti-hentinya kasus bullyingini kerap terjadi dalam ranah pendidikan. Belajar dari kasus tersebut, menurut Violence Prevention Works, bullying merupakan perilaku agresif yang disengaja dan melibatkan ketidakseimbangan kekuasaan antara satu orang dengan orang lainnya. 

Bullying dapat terjadi secara berulang dari waktu ke waktu. Bullying umumnya terjadi berupa perilaku ataupun kata-kata, seperti memanggil nama dengan sebutan yang menyakitkan, penganiyaan, mengancam atau mengasingkan satu orang atau lebih tanpa sebab yang jelas, pemerasan, penghinaan terhadap orang lain. 

Dalam riset yang dilakukan oleh American Institutes for Researchpada tahun 2016, Indonesia berada dalam urutan lima besar tertinggi dalam kasus bullying. Hal ini menjadi sebuah tamparan keras bagi dunia pendidikan di Indonesia. Peringkat lima besar ini tidak dapat di abaikan begitu saja, jika tidak terusut dengan tuntas maka akan mengakibatkan Indonesia menduduki peringkat teratas dalam kasus bullying.

Selain itu, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga menjelaskan, sejak tahun 2011 hingga 2017 pihaknya telah menemukan sekitar 26 ribu kasus kekerasan fisik dan psikis terhadap anak. Namun, khusus untuk bullying, tercatat ada sekitar 253 kasus. Jumlah tersebut terdiri dari 122 anak yang menjadi korban dan 131 anak yang menjadi pelaku. 

Dari data tersebut menunjukkan bahwa lebih banyak anak yang menjadi pelaku bullying dibandingkan menjadi korban. Anak yang menjadi pelaku bullying umumnya memiliki karakteristik sifat seperti, mementingkan diri sendiri, sangat kompetitif, ekshibisionis dan agresif (Salmivalli dalam, Lodge, 2014). Anak-anak yang menjadi pelaku bullying juga memiliki tingkat empati yang rendah dan cenderung manipulatif serta memiliki hubungan interpersonal yang buruk (Baumeister dalam, Lodge, 2014). Lantas, apa penyebab utama seorang anak menjadi pelaku bullying?

Doktor Gail Gross pakar pendidikan dan parenting mengatakan bahwa ada beberapa hal yang dapat menyebabkan seorang anak menjadi pelaku bullying, yaitu :

Like Parent, Like Child

Role model atau acuan anak dalam berperilaku adalah tergantung dari apa yang mereka lihat. Jika anak diintimidasi oleh orang tuanya atau diperlakukan dengan cara yang tidak sopan di rumah, anak tersebut cenderung meniru perilaku ini di sekolah. Mereka belajar dari orang tua mereka bahwa jenis perilaku ini dapat diterima dalam lingkungan.

The Powerless Child 

Terkadang, anak yang menggertak adalah anak yang merasa sama sekali tidak berdaya di rumah. Mungkin anak ini diperlakukan dengan tidak baik, atau mereka melihat orang tuanya memperlakukan orang lain dengan tidak baik, sehingga merasa takut dan tidak berdaya di rumah. Oleh sebab itu, anak berupaya mengembalikan kekuatannya dengan melakukan intimidasi terhadap orang lain di sekolah.

The Forgotten Child

Umumnya anak-anak yang tidak terlalu diperhatikan di rumahnya akan menjadi seorang bullies (pelaku bullying) di sekolahnya. Anak-anak membutuhkan cinta dan perhatian penuh dari orang yang merawat mereka. Tidak ada yang lebih penting daripada ibu dan ayah. Ketika mereka tidak mendapatkan cinta dan perhatian di rumah, mereka akan merasa tidak berguna dan tidak penting. Sehingga perasaan tersebut bisa berubah menjadi kemarahan, dendam, dan kemudian mengganggu orang lain di sekolah yang dianggapnya lemah.

The Entitled Child

Seorang anak juga dapat menjadi pelaku bully ketika mereka terlalu bebas tanpa aturan saat berada dirumah. Mereka mendapatkan semua yang mereka inginkan, tanpa batasan dan aturan untuk diikuti. Sehingga hal ini menyebabkan anak merasa berhak atas segala sesuatu dan merasa kuat. Anak-anak ini mungkin percaya bahwa mereka memiliki hak untuk menggertak orang lain di sekolah, karena ketika dirumah mereka juga dapat mengatur orang tuanya.

Lack Empathy

Anak yang menjadi pelaku bully biasanya memiliki empati yang rendah, suka mendominasi, bersifat posesif, dan menginginkan kekuasaan.

Pelaku bullying mungkin tidak memiliki perilaku sosial, empati, atau keterampilan dalam mengatasi suatu permasalahan yang baik. Sehingga hal ini dapat menimbulkan masalah dalam hubungan sosialnya, masalah pengasuhan, dan bahkan masalah dengan hukum. Oleh karena itu, pelaku bullyingjuga memerlukan bantuan dan bimbingan dari orang lain untuk mengurangi atau mengubah perilakunya dalam melakukan aksi bullying.

Menurut International Bullying Prevention Association (2012) ada beberapa pencegahan yang dapat dilakukan keluarga untuk mengurangi risiko anak terlibat dalam perilaku bullying adalah hal yang pertama yaitu tingkatkan komunikasi yang positif antara orangtua dan anak, orangtua dapat menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang spesifik misalnya "bagaimana kegiatanmu di sekolah?", tadi di sekolah bermain apa saja dengan teman-teman? Pastikan bahwa sikap orangtua dalam berkomunikasi dengan keterbukaan yang tulus dan pertanyaan yang di ajukan tidak bersifat memojokkan. Kedua, memonitor kegiatan anak, orangtua dapat berpartisipasi dalam kegiatan yang dilakukan anak di sekolah, baik dalam kegiatan ekstrakulikuler maupun kegiatan yang lainnya. Kontrol anak dan perhatikan jika anak terlalu bersikap agresif kepada teman sekolahnya, alihkan perhatian anak, dan bicarakan hal tersebut dengan baik kepada anak agar anak dapat mengatur sifat tempramennya.

Kemudian yang ketiga, arahkan anak pada pengalaman sosial yang positif, dimana orangtua dapat membantu anak dalam memilih teman yang membawa pengaruh positif dan mengajarkan anak untuk menjalin hubungan yang erat dengan teman dekatnya sehingga hal ini dapat mengurangi efek perilaku bullying. Keempat, bicarakan seputar hal mengenai bullying, orangtua terlebih dahulu harus mengetahui dunia seputar bullying jika orangtua sudah memahami apa itu bullying,dan bagaimana konteksnya, maka orangtua dapat memberikan penetahuan tersebut kepada anak dengan mengajarkan apa itu bullying, seperti apa saja tindakan bullying ,apa dampak yang akan terjadi jika terlibat perilaku bullying. 

Selain itu orangtua juga dapat mendiskusikan dan melatih cara anak dalam merespon perilaku bullying, sehingga dengan adanya diskusi ini anak akan dapat bercerita dan meminta bantuan kepada orangtuanya jika anak menyaksikan atau terlibat dalam perilaku bullying. Kelima, orangtua dapat menjadi role model yang positif bagi anak, orangtua dapat menampilkan sikap-sikap yang positif ketika bergaul dengan lingkungan sekitar, sehingga hal inilah dapat dijadikan contoh atau sebuah panutan bagi anak ketika anak bergaul dengan teman sebayanya. Dan keenam, meningkatkan keterlibatan orangtua dalam lingkungan sekolah anak. Orangtua dapat mengontrol lingkungan anak di sekolah agar anak tetap aman dalam berinteraksi dengan teman-teman sebayanya.

Referensi

1 2 3 4

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun