Umumnya anak-anak yang tidak terlalu diperhatikan di rumahnya akan menjadi seorang bullies (pelaku bullying) di sekolahnya. Anak-anak membutuhkan cinta dan perhatian penuh dari orang yang merawat mereka. Tidak ada yang lebih penting daripada ibu dan ayah. Ketika mereka tidak mendapatkan cinta dan perhatian di rumah, mereka akan merasa tidak berguna dan tidak penting. Sehingga perasaan tersebut bisa berubah menjadi kemarahan, dendam, dan kemudian mengganggu orang lain di sekolah yang dianggapnya lemah.
The Entitled Child
Seorang anak juga dapat menjadi pelaku bully ketika mereka terlalu bebas tanpa aturan saat berada dirumah. Mereka mendapatkan semua yang mereka inginkan, tanpa batasan dan aturan untuk diikuti. Sehingga hal ini menyebabkan anak merasa berhak atas segala sesuatu dan merasa kuat. Anak-anak ini mungkin percaya bahwa mereka memiliki hak untuk menggertak orang lain di sekolah, karena ketika dirumah mereka juga dapat mengatur orang tuanya.
Lack Empathy
Anak yang menjadi pelaku bully biasanya memiliki empati yang rendah, suka mendominasi, bersifat posesif, dan menginginkan kekuasaan.
Pelaku bullying mungkin tidak memiliki perilaku sosial, empati, atau keterampilan dalam mengatasi suatu permasalahan yang baik. Sehingga hal ini dapat menimbulkan masalah dalam hubungan sosialnya, masalah pengasuhan, dan bahkan masalah dengan hukum. Oleh karena itu, pelaku bullyingjuga memerlukan bantuan dan bimbingan dari orang lain untuk mengurangi atau mengubah perilakunya dalam melakukan aksi bullying.
Menurut International Bullying Prevention Association (2012) ada beberapa pencegahan yang dapat dilakukan keluarga untuk mengurangi risiko anak terlibat dalam perilaku bullying adalah hal yang pertama yaitu tingkatkan komunikasi yang positif antara orangtua dan anak, orangtua dapat menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang spesifik misalnya "bagaimana kegiatanmu di sekolah?", tadi di sekolah bermain apa saja dengan teman-teman? Pastikan bahwa sikap orangtua dalam berkomunikasi dengan keterbukaan yang tulus dan pertanyaan yang di ajukan tidak bersifat memojokkan. Kedua, memonitor kegiatan anak, orangtua dapat berpartisipasi dalam kegiatan yang dilakukan anak di sekolah, baik dalam kegiatan ekstrakulikuler maupun kegiatan yang lainnya. Kontrol anak dan perhatikan jika anak terlalu bersikap agresif kepada teman sekolahnya, alihkan perhatian anak, dan bicarakan hal tersebut dengan baik kepada anak agar anak dapat mengatur sifat tempramennya.
Kemudian yang ketiga, arahkan anak pada pengalaman sosial yang positif, dimana orangtua dapat membantu anak dalam memilih teman yang membawa pengaruh positif dan mengajarkan anak untuk menjalin hubungan yang erat dengan teman dekatnya sehingga hal ini dapat mengurangi efek perilaku bullying. Keempat, bicarakan seputar hal mengenai bullying, orangtua terlebih dahulu harus mengetahui dunia seputar bullying jika orangtua sudah memahami apa itu bullying,dan bagaimana konteksnya, maka orangtua dapat memberikan penetahuan tersebut kepada anak dengan mengajarkan apa itu bullying, seperti apa saja tindakan bullying ,apa dampak yang akan terjadi jika terlibat perilaku bullying.Â
Selain itu orangtua juga dapat mendiskusikan dan melatih cara anak dalam merespon perilaku bullying, sehingga dengan adanya diskusi ini anak akan dapat bercerita dan meminta bantuan kepada orangtuanya jika anak menyaksikan atau terlibat dalam perilaku bullying. Kelima, orangtua dapat menjadi role model yang positif bagi anak, orangtua dapat menampilkan sikap-sikap yang positif ketika bergaul dengan lingkungan sekitar, sehingga hal inilah dapat dijadikan contoh atau sebuah panutan bagi anak ketika anak bergaul dengan teman sebayanya. Dan keenam, meningkatkan keterlibatan orangtua dalam lingkungan sekolah anak. Orangtua dapat mengontrol lingkungan anak di sekolah agar anak tetap aman dalam berinteraksi dengan teman-teman sebayanya.
Referensi