Mataku berkaca-kaca. Tatapanku mengarah ke arah televisi yang menyala. Rasa panas itu masih bisa kurasakan, seolah tubuhku masih terbakar. Aku mengecek anggota tubuhku, semua masih nampak utuh. Aku bersyukur. Buru-buru aku mencari ponselku, aku harus mengecek kalender dan memastikan Mahen baik-baik saja.Â
Tanggal 12 Maret, waktu berjalan mundur lagi. Kini delapan hari dari tanggal kecelakaan kami menuju Bandung. Aku terdiam. Aku mengingat-ingat apa yang terjadi di tanggal tersebut. Ah, iya, Mahen sekarang berada di Manado untuk mengaudit cabang perusahaan tempatnya bekerja. Seharusnya tidak ada apapun terjadi di tanggal ini. Mahen pulang dengan selamat keesokan harinya. Aku bersandar lega pada sofa yang kini kududuki.
Ada yang harus aku pastikan, yaitu keberadaan keponakanku. Segera kuhubungi Alya dan menanyakan keadaan Andara. Namun respon Alya yang kebingungan membuat kepalaku semakin berdenyut. Alya mengatakan dia tidak memiliki anak bernama Andara.
Apakah ingatan tentang Andara ikut menghilang? Aku memijat kepalaku pelan.
Di saat akan menutup panggilan, Alya mengatakan bahwa ponselnya akan tidak aktif selama beberapa jam karena pesawat yang ia tumpangi akan lepas landas sebentar lagi. Aku membatu. Lidahku kelu. Tunggu dulu. Apakah takdir berubah? Alya, bukankah seharusnya berada di rumahnya di Balikpapan. Namun ia bilang akan melakukan perjalanan bisnis ke Jakarta.Â
Aku ambil lagi ponselku. Berusaha mencegah Alya pergi namun terlambat. Ponselnya tidak aktif. Aku merosot lemas. Terdiam membeku dengan tatapan kosong. Layar televisi yang masih menyala kini menayangkan insiden kecelakaan pesawat yang terjadi di bandara Balikpapan. Pesawat meledak saat baru saja lepas landas. Aku tertunduk lemas. Takdir telah berubah. Maafkan aku, Kak.
Beberapa saat kemudian, aku beranikan diri menghubungi Mahen. Untuk membagi kesedihanku saat ini, aku hanya membutuhkannya. Aku tersenyum kecil, meskipun terlihat jahat, tetapi setelah kehilangan banyak hal, aku tak ingin kehilangan dia. Aku sudah membuat perjanjian dan ini adalah resiko yang harus aku ambil.Â
Semenjak kehilangan ayah dan ibu pada kecelakaan. Aku hanya memiliki kakakku, namun karena pernikahannya, aku tak memiliki siapapun sebagai tempatku berpijak. Semenjak pertemuanku dengan Mahen, aku serasa memiliki rumah untuk pulang.Â
Mahen kembali dari Manado dengan selamat. Untuk menghiburku dari kesedihan, ia mengajakku ke pantai. Awalnya aku sedikit ragu, namun ia berhasil meyakinkanku. Dia juga menyewa sebuah rumah pantai tempat kami akan menginap sambil menikmati deburan ombak. Mahen mampu memberikanku semangat hidup lagi setelah berduka atas kematian kakakku.
Sesampainya disana, kami bercengkrama. Sesekali kami bermain air di pantai dan membuat istana pasir. Sungguh suasana yang membahagiakan. Kami juga memutuskan menaiki speed boat. Ini adalah kali pertama bagiku. Meskipun sedikit cemas, aku coba untuk menepiskan semua pemikiran burukku. Ini bukan hari kematian Mahen. Jadi tidak akan ada hal buruk terjadi.
Mahen mengendarai speed boat hingga memasuki zona lautan dalam. Setelah mematikan mesin, ia mengajakku berdiri di tengah-tengah. Sambil berlutut, ia mengeluarkan sebuah kotak cincin. Ia melamarku saat itu juga di tengah lautan. Aku berkaca-kaca. Setelah perjuangan yang panjang akhirnya aku dan Mahen akan segera bersatu dalam sebuah ikatan suci. Aku mengangguk, setelahnya ia sematkan cincin itu di jari manisku.Â