Damar's POV
Sebuah kamar dengan dinding bercat putih kusam. Bohlam lampu yang dibiarkan mati. Beberapa sisi ruangan terlihat berdebu. Langkah kakiku menapaki ruangan itu lagi.
Setelah pintu dibuka, aroma lembab segera menyambut. Aku buka tirai jendela dan membiarkan sinar matahari masuk. Setelahnya, aku buka kembali memori orang itu di buku album kenangan. Ia tersenyum bahagia. Kami terlihat bahagia saat itu.
Satu persatu halaman terbuka. Air mata mulai menggenang. Seolah menunggu untuk tumpah. Meski aku coba menahannya, namun itu jatuh melewati sudut mataku. Aku terisak. Hari ini, entah mengapa aku ingin mengenang orang itu.
Dulu aku pikir, dia bercanda saat mengatakan akan pergi dan menyuruhku menjaga ibu dan Namira, adik kami. Tapi ternyata dia serius mengatakannya. Dia betulan meninggalkan kami.
"Kak, Ibu manggil." Ucap seorang gadis yang aku yakini adalah Namira. Aku hanya mengangguk. Tak berani menatapnya. Perlahan aku hapus air mataku kasar.
Aku segera menuju ruang makan. Ibu telah membuatkan makan siang untuk kami. Semenjak kedatanganku tadi pagi, ibu terlihat bersemangat. Ia merapikan rambutnya yang keputihan bahkan berganti pakaian. Saat aku baru datang, ia bagai mayat hidup yang berpakaian lusuh.
"Ayo makan Damar, Nami. Ah iya kakak kalian Lana kira-kira bakal pulang jam berapa ya nanti? Semoga sebelum jam makan malam. Soalnya Ibu udah masak masakan kesukaan dia." Ucap Ibuku dengan senyuman yang begitu tulus.
Aku urungkan niatku menyendok sup. Nafsu makanku tiba-tiba menghilang. Aku tertunduk. Ribuan belati seolah menusukku. Lagi dan lagi.
"Bu, Damar balik ke kamar aja ya. Damar masih kenyang. Tadi udah makan." Aku bangkit dari tempat duduk dan meninggalkan ruangan itu menuju kamarku.
Saat akan meraih knop pintu kamar. Seseorang meraih lenganku.
"Kak. Tolong jangan diambil hati omongan Ibu. Kakak kan tahu, sejak kematian Kak Lana. Kesehatan ibu sedikit terganggu. Ibu lihat Kakak datang aja, Ibu udah senang banget. Ayo Kak. Balik ke meja makan." Ajak Nami.
"Kenapa kamu biarin Ibu kayak gitu? Kakak ga bisa ada disini karena harus kerja untuk memenuhi kebutuhan hidup kita. Tapi kenapa kamu biarin Ibu begitu?" Tuntutku. Seolah menumpahkan semua kesalahan pada adik kecilku.
"Kak, Nami juga udah berusaha sebisa Nami. Tapi kalau Ibu sendiri yang menolak, gimana? Beliau gak mau melupakan Kak Lana. Sementara Kakak juga gak pernah ada disini. Aku sendirian jagain Ibu, Kak Damar. Aku juga capek, Kak. Aku juga sedih." Balas Nami. Tangannya sedikit gemetar kala menggenggam lenganku.
Aku membawa tubuh Nami dalam dekapanku. Dinding pada diri kami masing-masing seolah hancur. Adikku kini menangis sesenggukan. Bahunya bergetar.
Tak terasa air mataku ikut mengalir. Sambil membelai rambut Namira, mataku menerawang kosong. Seolah pikiran-pikiran, kenangan demi kenangan, berlomba merangsek masuk menguasai diriku.
Sepeninggal kakak perempuan kami, kehidupan kami berubah. Kakak perempuan kami yang selalu bisa diandalkan membantu perekonomian keluarga kami, kini sudah tak ada. Kakak yang selalu pulang ke rumah, menjaga ibu dan adiknya, kini tak mungkin bisa pulang ke rumah lagi.
Aku sudah bekerja di luar kota semenjak lulus SMA. Walau hubungan kami tak begitu dekat. Tapi hubungan kami bukan hubungan yang buruk. Tentu aku baru menyadari itu semua semenjak kakakku meninggal. Aku baru menyadari bahwa aku kehilangan saudariku.
Sementara bagi ibu, kakak perempuan kami adalah sosok pemberontak, keras namun sangat perhatian pada keluarganya. Kakak kami, sepertinya memiliki kemiripan dengan ibu. Sehingga mereka sering kali bertengkar.
Saat hari kematian kakak perempuan kami. Tidak ada tangis sedikitpun di wajah ibu. Namun sejak saat itu, tak ada pula senyuman.
Aku terus berusaha lari dari rasa sedihku dengan bekerja dengan giat. Menghasilkan lebih banyak uang. Karena kini sudah tak ada yang bisa membantu perekonomian kami seperti dahulu. Namun perasaan kehilangan itu tak hilang setiap aku kembali ke rumah ini.
Kini kami hanya tinggal bertiga. Ayah kami sudah lama lepas dari tanggung jawabnya. Menghilang. Hidup dengan istri lainnya. Anak pertama yang diharapkan, meninggal karena bunuh diri. Sungguh keluarga yang berantakan.
#####
Namira berhasil mengajakku makan siang bersama. Setelahnya, aku sengaja mengajak mereka bersenang-senang. Dari mulai belanja bulanan, bermain di game centre, membeli baju serta makanan enak. Semua hal yang bisa aku lakukan, untuk membuat ibu dan Nami bahagia.
Saat Nami dan ibu pergi ke sebuah store pakaian. Ibu terlihat memandang ke sebuah gaun merah yang indah. Dia menunjuk gaun itu ke arahku.
"Lana bentar lagi ulang tahun, Nak. Ibu ingin membelikan gaun ini untuknya. Sepertinya ibu gak pernah kasih hadiah ke dia waktu dia ulang tahun. Lana pasti senang, ya kan Nak?" Ibu mendekati gaun itu, dan mengelus sisian kainnya.
"Ibu, kak Lana gak butuh itu lagi. Nanti setelah dari sini, kita ketemu dia ya. Janji." Ucapku sembari menahan perasaan sedih.
#####
Sepeninggal kami dari pusat perbelanjaan, aku sempatkan diri untuk membeli bunga. Aku akan membawa ibu untuk menemui kakak. Karena pasti ia sangat merindukan kakak, sama sepertiku.
Mobilku berhenti di sebuah tempat pemakaman umum. Tempat itu cukup luas dan dipenuhi bunga bakung serta kamboja. Saat itu sedikit mendung dan sunyi. Aku bawa ibu dan Nami ke arah pekuburan. Letaknya sedikit ke dalam.
"Kita ngapain kesini, Nak?" Tanya Ibu, raut kebingungan terlihat jelas.
Aku genggam erat tangan ibu. Tangan yang telah merawat kami sedari kecil. Tangan yang telah melawan kerasnya hidup selama ini.
"Kita mau ketemu kak Lana, Bu. Ibu kangen kan sama Kak Lana. Sama, aku, Nami juga kangen."
Semenjak kepergian kakak perempuanku satu setengah tahun lalu. Aku tak pernah mengunjungi lagi pemakamannya. Aku begitu malu mengakui kematian kakakku.
Namun belakangan aku sadar, aku yang terlalu egois dan tidak peduli pada keadaan kakakku selama ini. Bagiku. Semua curahan hatinya di sosial media, hanya sebuah usaha untuk mencari perhatian.
Adikku Namira pun disibukan oleh kuliah dan mengurus ibu di rumah. Sehingga tak punya cukup waktu untuk mengunjungi makam kakak tertuanya.
Kami melangkah mendekati sebuah nisan yang tertulis nama seseorang yang kami sayangi. Makamnya cukup bersih, walau terlihat tidak terawat.
"Ibu, ini kakak." Aku arahkan ibu untuk berjongkok di pusara kakak.
"Engga, Damar. Ayo kita pergi. Lana pasti nunggu kita di rumah." Ibu bangkit dari posisinya. Raut wajahnya mengeras, seolah tak terima. Aku berdiri, membawa ibu dalam pelukanku.
"Bu tenang. Ibu, tenang ya. Tarik nafas dalam-dalam. Dengar Damar ngomong ya." Pelan, aku ajak ibu bicara.
"Kak Lana gak akan pernah kembali ke rumah, Bu. Ini rumah kak Lana sekarang. Ibu kangen kak Lana kan. Aku juga kangen. Nami juga. Sekarang ibu bisa ketemu kak Lana kalau kangen." Suaraku parau. Air mata itu menumpuk di sudut mataku. Berusaha aku tahan. Sementara sesak di sudut hatiku tak juga hilang.
"Nak, maafkan ibu. Ibu jarang memperhatikanmu. Ibu tidak peka. Ibu kangen kamu, Nak. Kangen sekali!" Ibu menjerit, tangisnya pecah. Ia pukul tanah kuburan itu. Membuatku semakin sesak.
Baik aku, Nami dan Ibu tenggelam dalam kesedihan masing-masing. Walau telah lama berlalu, kesedihan akan kehilangan itu tak benar-benar hilang. Apalagi jika kematiannya tiba-tiba. Sebuah duka yang hanya dirasakan oleh orang yang ditinggalkan.
Kak, bagaimana kehidupanmu disana? Sudahkah kamu temukan kebahagiaan? Kami merindukanmu. Kami disini mendoakanmu. Kami terus hidup dengan baik disini, tapi tanpamu, itu tak akan pernah sama. Kami mencintaimu.
The End
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H