"Kita mau ketemu kak Lana, Bu. Ibu kangen kan sama Kak Lana. Sama, aku, Nami juga kangen."
Semenjak kepergian kakak perempuanku satu setengah tahun lalu. Aku tak pernah mengunjungi lagi pemakamannya. Aku begitu malu mengakui kematian kakakku.
Namun belakangan aku sadar, aku yang terlalu egois dan tidak peduli pada keadaan kakakku selama ini. Bagiku. Semua curahan hatinya di sosial media, hanya sebuah usaha untuk mencari perhatian.
Adikku Namira pun disibukan oleh kuliah dan mengurus ibu di rumah. Sehingga tak punya cukup waktu untuk mengunjungi makam kakak tertuanya.
Kami melangkah mendekati sebuah nisan yang tertulis nama seseorang yang kami sayangi. Makamnya cukup bersih, walau terlihat tidak terawat.
"Ibu, ini kakak." Aku arahkan ibu untuk berjongkok di pusara kakak.
"Engga, Damar. Ayo kita pergi. Lana pasti nunggu kita di rumah." Ibu bangkit dari posisinya. Raut wajahnya mengeras, seolah tak terima. Aku berdiri, membawa ibu dalam pelukanku.
"Bu tenang. Ibu, tenang ya. Tarik nafas dalam-dalam. Dengar Damar ngomong ya." Pelan, aku ajak ibu bicara.
"Kak Lana gak akan pernah kembali ke rumah, Bu. Ini rumah kak Lana sekarang. Ibu kangen kak Lana kan. Aku juga kangen. Nami juga. Sekarang ibu bisa ketemu kak Lana kalau kangen." Suaraku parau. Air mata itu menumpuk di sudut mataku. Berusaha aku tahan. Sementara sesak di sudut hatiku tak juga hilang.
"Nak, maafkan ibu. Ibu jarang memperhatikanmu. Ibu tidak peka. Ibu kangen kamu, Nak. Kangen sekali!" Ibu menjerit, tangisnya pecah. Ia pukul tanah kuburan itu. Membuatku semakin sesak.
Baik aku, Nami dan Ibu tenggelam dalam kesedihan masing-masing. Walau telah lama berlalu, kesedihan akan kehilangan itu tak benar-benar hilang. Apalagi jika kematiannya tiba-tiba. Sebuah duka yang hanya dirasakan oleh orang yang ditinggalkan.